Tuesday, September 21, 2010

Pendapat Imam Turmudzi makna hadits Tsaqalain, Safinah

Persoalan hadits yang telah dikemukakan, yang mana Rasulallah saw menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk memper masalahkan makna ini hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat pendapatnya, dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada. Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam Turmudzi ini.

Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah; “Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw setelah beliau wafat.
Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dengan ucapannya: 
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi dari malapetaka…”. Mereka itulah –kata Imam Turmudzi– ahlul-bait Rasulallah saw yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Imam Turmudzi mengatakan:

1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka datanglah kepada umatku apa (bencana) yang dijanjikan”. Bagaimana dapat dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorangpun dari umat Muhamad saw yang masih tinggal? Jumlah umat Muhamad jauh lebih banyak daripada ahlulbait yang dapat dihitung dan Allah swt senantiasa melindungi mereka (ummat Muhamad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai ahlulbait juga tidak dapat didasar- kan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2).Menurut hadits tersebut, ahlulbait Rasulallah saw ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini”!
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw ialah; orang- orang yang karena mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…

 Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang mengatakan bahwa ke muliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah saw itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak disebut dalam hadits diatas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.  

Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang membuat Muhamad Rasulallah saw menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpahkan Allah swt kepada beliau’. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:  
“Pada suatu hari Rasulallah saw mendatangi (Siti) Fathimah. Ditempat ke diaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi Rasulallah saw). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani ‘Abdul Mutthalib, Hai  Fathimah binti Muhamad, Hai Shafiyyah bibi Rasulallah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian denganku, disaat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan dileher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhamad’, aku menjawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhamad’. Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhamad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andal- kan) antara aku dan kalian’ “.

Diriwayatkan pula bahwa saat itu Rasulallah saw menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku bukanlah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang memperoleh perlindung- anku ialah mereka yang bertakwa siapa pun mereka itu dan bagaimana pun keadaan mereka”.

Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi  
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits diatas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang lain diantaranya yaitu Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhamad, menuturkan:
Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits (hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw bahwasanya Rasulallah saw bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barang- siapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan.....ia di giring keneraka)’. 
Abu Dzar Al-Ghifari berkata: Aku mendengar Rasulallah saw bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”. 

Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.

Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, yaitu bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (yaitu bencana)”. Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apabila ahlulbaitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.

Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut diatas An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimanapun juga ahlulbait Rasulallah dan keturunan beliau saw dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan umat manusia, dan pada khususnya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang di maksud oleh hadits itu bukan hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau saw sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka’. 

Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin, yang mengatakan bahwa pengerti an tersebut diatas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam surat Al-Anfal: 33 : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw, namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang di riwayatkan oleh beberapa hadits. Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim )’.

Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah saw adalah (keturunan) orang-orang baik’. 
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut, An-Nabhani mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut diatas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw dengan abdal (orang-orang keramat) sebagaimana yang terdapat didalam hadits dari imam ‘Ali bin Abi Thalib ra’.

An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi, ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal jumlah ummat Muhamad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya’ ! 
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena Rasulallah saw sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlul-baitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang di limpahkan Allah swt kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw’.

An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam surat Al-Mu’minun:101: ‘Maka tiada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu’. Hanya Rasulallah saw sajalah yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui keturunan). Bagi beliau saw kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan baik di dunia maupun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh Rasulallah saw yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw tidak bermanfaat  pada hari kiamat? Ya (pasti)..kekerabatanku berksinambungan didunia dan akhirat’. 

Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhamad saw dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila mereka lenyap’. 
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat bagi keselamatan umat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka  telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini’.

Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw) juga terdapat kerusakan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw) menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw. Ditengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.  

Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw yaitu Al-Qur’an, sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’. 
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah saw untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (lihat kalimat haditsnya pada halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw tidak ada seorang pun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan mereka pun tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’. 

Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu Abdur- Rahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagaimanakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi tidak di-ingat dan dibaca orang’ “.Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah saw tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan.

Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulallah saw dikediaman (Siti) Fathimah ra disaat Shafiyyah (bibi beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw bersabda: “Hai Bani ‘Abdu- Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai Shofiyyah…....dan seterusnya (baca hadits terdahulu)”. 

An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi ini, sebagai berikut: Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan: “Benarlah bahwa Rasulallah saw tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatangkan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt) bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian –yang pria maupun yang wanita– mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung hubungannya..’. 

Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw : ‘Dihadirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’. Maknanya (hadits itu) ialah: ‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepada-ku, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun kepada kalian‘. Rasulallah saw  menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka agar banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah karena kebesaran takwanya masing-masing”.  

Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut diatas diucapkan oleh Rasulallah saw sebelum beliau diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbaitku dari Rasulallah saw lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab kepada beliau saw.Memang hanya itu sajalah makna ahlul baitku dalam bahasa Arab, bahasa beliau saw sendiri! Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.

Saya yakin –demikian kata Ash-Shabban lebih jauh– bahwa Imam Al- Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; –dan ini yang paling besar kemungkinannya– tulisan tersebut dipalsu- kan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….

Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) ahlulbait Rasulallah saw, sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi saw terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar Ibnul Khattab ra. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (ahlul-bait)”. Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/ keturunan Rasulallah saw.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits tsaqalain sebagai berikut:  “Dua kalimat hadits tsaqalain yang menyatakan; ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan sesat’, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari eluarga keturunan beliau saw, baik yang awam mau pun yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak. Pernyataan Rasulallah saw yang menegaskan; ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi saw) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan, bahwa diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan baiknya bercampur-aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan Rasulallah saw itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam (wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw bahwa mereka itu tidak akan berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga kelak… 

Sebagaimana telah saya (Ibnu Taimiyah) katakan, makna ‘noda’ atau ‘kotoran’ (ar-rijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut diatas, mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah ‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah saw adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt, dalam hal keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran). Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33 ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw… Kami menjawab: Benar, sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian kuat, bahwasanya Rasulallah saw pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– kemudian beliau saw membacakan surat Al-Ahzab:33…(ditambah dalil kuat lainnya adalah hadits Al-Kisa--pen.).
Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa ‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait, karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘ Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena beliau saw ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.

Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri yakin bahwa Rasulallah saw pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw membacakan ayat tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan pendapat para ulama yang lain (yaitu orang lima ini termasuk yang dimaksud dalam surat Al-Ahzab:33--pen.). Mengenai tidak akan terpisahnya mereka (keluarga keturunan Rasulallah saw) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali kepada Rasulallah saw disurga. Makna tersebut diperkuat dalilnya oleh Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhamad) menjadi puas”.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang dikutip dari Ibnu ‘Abbas ra, mengatakan: ‘Kepuasan Muhamad Rasulallah saw ialah karena tidak ada seorangpun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw: “Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka” (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih). Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra. Ia mengatakan bahwa Rasulallah saw pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorang pun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia mengabulkan permohonanku “. 

Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlulbait’, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam, yaitu: “…Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku...sampai akhir hadits (silahkan rujuk kembali haditsnya)”.  
Dari hadits ini kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw pertama-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah beliau menyebut ahlul-bait (keluarga,  keturunan) dengan ucapan “kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”. Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga keturunan beliau saw. Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat pengistemewa an yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah saw atau ahlul-bait ialah mereka semua yang diharamkan menerima shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw mereka itu disebut secara ber-iringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati kedudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin. 

Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak seunsur atau seasal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait) benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang (imam-imam) terkemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw’. 

Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah saw dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apapun pada orang-orang keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw) menurut Turmudzi bukan lain hanyalah para ulama, para imam dan para ahli fiqih dikalangan ummah Islam! Benarkah itu yang dimaksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak! Yang dimaksud oleh Rasulallah saw ialah keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli fiqih, para ulama dan para imam, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw yakni secara umum mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baik nya”. Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat Imam Turmudzi. 

Dengan adanya keterangan tadi, jelas bagi kita bahwa para ulama antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad  dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut diatas yang membatasi makna yang dimaksud keluarga keturunan Rasulallah saw, antara lain yang tercantum dalam hadits Tsaqalain dan hadits Safinah. Apa yang dikatakan Imam Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu dihargai. Tetapi sayangnya beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah saw dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana yang beliau kemukakan tadi. Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tersebut hanya kepada para pemuka atau imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw saja. Penafsiran Imam Turmudzi seperti itu, hanya berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan baca, banyak wasiat Rasulallah saw  mengenai ahlulbait dan keturunannya umpama dalam hadits-hadits shohih yang telah di kemukakan tadi, disitu beliau saw menegaskan agar umatnya menghormati, memuliakan dan mendahulukan semua ahlul-bait dan keturunannya tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk karena didalam hadits-hadits itu tidak adanya isyarat  hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa dari ahlul-baitnya. 

Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi sendiri, karena pendapatnya tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw yang berkaitan dengan ‘itrah ahlul-bait beliau saw. Maka dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:

Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain. 

Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai meng- kultuskan ahlulbait Rasulallah saw. Dengan uraiannya itu mungkin Imam Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang di pergunakan olehnya! 

Lepas dari penafsiran diatas, jelas Allah swt dalam firman-firmanNya untuk ahlulbait Rasulallah saw (Al-Ahzab: 33 dan lain-lain) dan untuk para sahabat  beliau saw (Al-Fath:18, At-Taubah:100 dan lain-lain) tersebut menunjukkan kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka. Namun sebagai manusia, para ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw adalah sama dengan para sahabat Nabi saw serta keturunannya, bisa berbuat kesalahan. Mereka ini bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa, karena bukan orang-orang ma’shum yakni yang terpelihara dari kemungkinan berbuat kekeliruan. Orang-orang yang ma’shum menurut ahlus sunnah wal jama’ah hanyalah para Nabi dan Rasul, sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw dan para sahabat), sebagai manusia mereka tetap menghadapi ke mungkinan berbuat kekeliruan. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw dan sebaliknya. Hal itu bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, apalagi mereka itu bukan orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa). 

Kita kaum muslimin wajib melaksanakan wasiat Nabi saw yaitu mencintai dua golongan tersebut ahlulbait, keturunan Nabi saw khususnya dan para sahabat Nabi saw agar kita Insya Allah dapat memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada umat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan membiarkan dirinya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw.

Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat Al-Qur’an, hadits mau pun contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi saw dan para imam  –baik yang tercantum atau tidak tercantum dibuku ini kiranya itu cukup meyakin kan bagi setiap muslim yang mendambakan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat  kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan semua perintahnya.

Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang pokok pertama adalah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw adalah kesinambungan  dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti dimurkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Rasul-Nya. Jadi ke dua-duanya tidak dapat dipisahkan! Tidak mungkin seorang beriman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah saw tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain: “Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah”. (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak didambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat diatas ini.

Sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt, namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw itu –menurut pengertian yang benar– kita harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagaimana yang beliau saw wasiatkan dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Begitu juga kita harus menghormati  dan mencintai para sahabat beliau saw. Itu merupakan kewajiban umat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya! 

Insya Allah buat kita sudah jelas dengan adanya firman Allah swt, hadits-hadits serta wejangan para ulama pakar tadi, membuktikan bahwa keturunan Nabi saw itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Riwayat-riwayat tersebut telah diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian cukup lah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw) akan senantiasa berada ditengah umat manusia sepanjang masa selama Allah swt menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan hadits-hadits tersebut diantaranya; –Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan, Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh”– menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan antara Kitabullah Al-Qur’anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau saw. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan ‘ithrah (keturunan, ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan keturunan beliau saw yang kedua-duanya akan kembali (pertanggungjawabannya) kepada Rasulallah saw di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau saw menyatakan  ‘tidak akan berpisah’  hingga saat kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.

Al-Qur’anul Karim akan kekal dan akan kekal pula hukumnya serta bukti kebenarannya diatas permukaan bumi sampai hari kiamat dan ahlul-Baitnya adalah patner Al-Qur’an yang senantiasa berdamping dengannya, kedua-duanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat. Semua itu menunjukkan bahwa keturunan Rasulallah saw senantiasa akan dikenal dan dipercayai sampai hari kiamat, sebagaimana Al-Qur’an yang dipercayai, karena keduanya merupakan kesatu  an yang tidak dapat dipisahkan”. Dengan perkataan lain adalah: “Selama Al-Qur’an masih terdapat di muka bumi (tertulis maupun terhafal) selama itu pula ‘ithrah (keturunan) Rasulallah saw akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat keturunan Rasulallah saw dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur’an akan tetap ada didunia”! Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa keturunan Nabi saw sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalil walaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedangkalan ilmu agama atau kedengkian, kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh Allah swt. 

Sebagaimana yang telah kami kemukakan dibuku ini bahwa memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagai keturunan yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt dalam surat Al-Hujurat:13, dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw yang mengatakan: “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘Ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena takwa”. Firman Allah dan hadits Rasulallah saw yang terakhir diatas ini tidak bertentangan dengan surat Al-Ahzab : 33  yang menegaskan: “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”.

Sekali lagi fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah  kepada para keturunan Rasulallah saw sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah umat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan-perbuat an dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari tanggung-jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan umatnya. Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada kaum muslimin dapat di wujudkan dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw menonjol-nonjolkan diri menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada ke dudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syari’at. Kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga martabat Rasul  saw dan Ahlul Bait beliau. 

Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan Ahlul-Bait. Keturunan ahlul-Bait adalah manusia biasa bukan manusia yang maksum, bisa saja berbuat dosa atau menjalani amalan yang fasiq, janganlah dengan adanya perbuatan salah/dosa itu langsung menjelekkan, mencela atau tidak mengakui nasabnya atau meniadakan wujudnya keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian mereka ini baik sadar maupun tidak sadar telah membantah dan menentang riwayat-riwayat hadits Nabi saw yang berkaitan dengan keutama an serta masih wujudnya keturunan beliau saw dan sebagainya.

Al-’Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus) merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulallah saw, ahlul-bait serta keturunannya atas dasar pengerti an, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw adalah orang-orang yang dimulia kan oleh Allah swt. Selain itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang sahabat Nabi saw yang telah dijanji- kan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang para orang tua mereka. Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan: ‘Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat fasik berupa bid’ah atau lainnya, yang harus dikecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya, karena dzatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah saw, sekali pun antara dzat beliau dan dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.

Kami sayangkan masih ada orang muslimin yang ekstrem, yang sering mencaci maki sampai-sampai melaknat dan mengkafirkan sahabat-sahabat Rasulallah saw, padahal para imam –yakni para imam dari golongan ahlul-bait Rasulallah saw– tidak pernah mencaci maki umat muslimin, walaupun terhadap golongan muslimin yang pernah mencaci mereka. Para imam dari ahlul-bait Rasulallah saw (antara lain Imam Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhamad Al-Baqir, Imam Ja’far As-Shodiq, ......[r.a.] ) selalu menjaga mata, mulut, telinga dan semua organ tubuhnya dari perbuatan-perbuatan keji yang bisa mengakibatkan murka Allah dan Rasul-Nya. Alangkah baiknya kalau orang-orang ekstrem ini meniru akhlak para imam tersebut yang sangat tinggi itu dan tidak meniru kepada golongan muslimin yang sering caci mencaci para sahabat Rasulallah saw. Akhlak yang baik inilah yang diajarkan dan diamalkan oleh junjungan kita Muhamad saw dan para ahlul-baitnya (ingat firman Allah swt. dalam surat An-Nahl:90).

Diantara golongan ekstrim ini -dari fanatiknya- ada yang tidak mau mendengar nama sebagian sahabat yang disebut, umpama khalifah Abubakar, khalifah Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhuma- apalagi memberi nama anak-anak mereka yang sama dengan nama dua khalifah ini. Padahal kalau kita teliti dalam sejarah, diantara anak-anak Imam Ali kw ada yang diberi nama Abubakar dan Umar. Begitu juga seorang ulama yang bermadzhab Syi’ah ,Syeikh Syarafuddin al-Musawi, dalam kitab Dialog Sunnah-Syi’ah (Al-Muroja’at) cet.1 th.1983 hal.119 dan hal.122 terjemahan Indonesia, telah menyebutkan seratus nama dari kalangan madzhab Syi’ah antara lain nama ke 83 yang disebutkan dibuku tersebut ialah Mu’awiyah bin ‘Ammar ad-Dubni al-Bujali dan nama ke 99 ialah Yazid bin Abi Ziyad (Abu Abdillah) al-Kufi. Nama Muawiyah dan Yazid itu masih dipegang oleh dua ulama syiah diatas tersebut dan tidak digantinya. Marilah kita tidak saling melaknat atau mengkafirkan sesama muslimin, walaupun antara satu sama lain mempunyai madzhab berlainan.  

Perbedaan pendapat antara golongan muslimin selalu ada, kita tidak perlu mensyirikkan, mensesatkan  satu sama lain antara kaum muslimin karena adanya perbedaan dan sudut pandang diantara kita. Karena masing-masing pihak berpedoman pada Kitabullah dan sunnah Rasulallah saw namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya. Setelah menguraikan atau menafsirkan ayat-ayat Allah swt dan hadits Nabi saw, janganlah mensesatkan atau berani mengkafirkan kaum muslimin dalam suatu perbuatan atau amalan karena tidak sepaham dengannya. Orang seperti ini sangatlah egois dan fanatik serta ekstrem dalam sudut pandangnya sendiri, yang menganggap dirinya paling benar dan paham sekali akan dalil-dalil syar’i/agama.

Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah, mubah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak, jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, kafir  mengkafirkan, cela mencela antara sesama kaum muslimin. Begitu juga janganlah kita mudah menvonnis amalan-amalan nawafil/sunnah atau mubah sebagai amalan bid’ah munkar/haram, sesat, syirik dan lain sebagainya karena tidak sepaham dengan madzhabnya atau dengan alasan bahwa amalan tersebut tidak ada contoh sebelumnya baik dari Rasul maupun sahabat beliau saw dan sebagainya.Untuk mengharamkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash baik yang umum maupun yang khusus mengenai amalan tersebut, jadi tidak bisa seenak pikirannya sendiri. Wallahu A’lam

No comments:

Post a Comment