Tuesday, September 21, 2010

Pengertian mengenai kata dzurriyyat atau keturunan

Ibnul-Qayyim menjelaskan sebagai berikut: Di kalangan para ahli bahasa (Arab) tidak ada perbedaan pendapat mengenai makna kata dzurriyyat. Yang dimaksud dengan kata itu ialah anak-cucu keturunan, besar mau pun kecil. Kata tersebut dalam Al-Qur’an terdapat beberapa ayat, antara lain pada Surat Al-Baqarah:124: “....Sesunguhnya Aku hendak menjadikan dirimu sebagai Imam bagi ummat manusia, (Ibrahim) bertanya; Dan anak-cucu keturunanku’ (apakah mereka juga akan menjadi Imam?)...sampai akhir ayat. 

Dari pengertian ayat tersebut pastilah sudah bahwa kata dzurriyyat tidak ber- makna lain kecuali anak-cucu keturunan. Akan tetapi apakah keturunan dari anak perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyyat ? Mengenai ini ada dua pendapat kalangan para ulama.  Pendapat pertama, yaitu seperti yang dikatakan Imam Ahmad bin Hanbal, bahwa keturunan dari anak perempuan adalah ter- masuk dalam pengertian dzurriyyat. Demikian pula menurut madzhab Imam Syafi’i. 

Pendapat pertama ini sepakat bahwa semua anak cucu keturunan Siti Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad saw. termasuk dalam pengertian dzurriyyat yakni dzurriyatun-Nabiy (Keturunan Rasulallah saw.). Sebab tidak ada puteri Nabi saw. selain Siti Fathimah ra yang dikarunia keturunan yang hidup hingga dewasa. Oleh sebab itu wajarlah jika Rasulallah saw. menyebut Al-Hasan dan Al-Husain radhiyallahu ‘anhuma sebagai putera-putera beliau. Banyak hadits yang memberitakan pernyataan beliau, antara lain ‘Al-Hasan ini adalah anak lelaki-ku, ia seorang sayyid’ (kelak akan jadi pemimpin). Juga ayat Mubahalah. dalam surat Aali ‘Imran:61 ’....maka katakanlah marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu....’ sampai akhir ayat. Setelah itu Rasulallah saw. segera memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, Siti Fathimah Az-Zahrah, Al-Hasan dan Al-Husain kemudian mereka berangkat untuk bermubahalah dengan kaum musyrikin. (baca keterangan halaman berikutnya) .

Ibnul Qayyim berkata lebih jauh, Allah swt. telah berfirman mengenai keturunan Ibrahim as. dalam surat Al-An’am:84: ‘...Dan dari keturunannya (Ibrahim), Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa dan Harun. Demikianlah Kami beri balas kebajikan kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan (dari keturunan Ibrahim juga), Zakariya, Yahya, ‘Isa dan Ilyas.. .sampai akhir ayat'.

Sebagaimana diketahui, Nabi ‘Isa putera Maryam a.s. tidak mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Ibrahim a.s. selain dari bundanya., Maryam. Jelaslah bahwa keturunan dari seorang perempuan termasuk dalam pengertian dzurriyat.

Sedangkan pendapat kedua, yang mengatakan bahwa keturunan dari anak perempuan tidak termasuk dalam pengertian dzurriyyat berdalil: Keturunan dari seorang perempuan pada hakikatnya adalah keturunan dari suaminya. Karena itu jika ada seorang wanita keturunan Bani Hasyim melahirkan anak dari suami bukan dari Bani Hasyim, maka keturunannya itu bukan keturunan Bani Hasyim. Pihak pendapat kedua ini mengatakan juga bahwa orang merdeka (bukan budak) keturunannya adalah mengikuti silsilah ayah, sedang kan budak keturunannya mengikuti silsilah ibu. Namun dalam pandangan agama, yang terbaik diantara keduanya ialah yang terbesar ketakwaannya.

Mereka ini juga mengatakan bahwa dimasukkannya anak-anak Fathimah Az-Zahra ra. dalam  dzurriyyat Nabi saw. semata-mata karena kemuliaan dan keagungan martabat ayahnya (Muhammad saw.), yang tiada tolok bandingnya didunia. Jadi dzurriyyat (keturunan) Nabi dari putri beliau itu merupakan kelanjutan dari keagungan martabat beliau saw.. Kita mengetahui bahwa keagungan seperti itu tidak ada pada orang-orang besar, raja-raja dan lain sebagainya. Karena itu mereka tidak memandang keturunan dari anak-anak perempuan mereka sebagai dzurriyyat yang berhak mewarisi kebesaran atau kemuliaan mereka. Yang dipandang benar-benar sebagai dzurriyyat oleh mereka adalah keturunan dari anak-anak lelaki mereka. Kalau keturunan dari anak perempuan dipandang sebagai dzurriyyat, itu hanyalah disebabkan oleh faktor kemuliaan dan ketinggian martabat ayah anak perempuan itu. Demikianlah pendapat pihak kedua.

Menanggapi dalil yang dikemukakan pendapat pihak kedua diatas ini, Ibnul-Qayyim berkata; bahwa pandangan seperti itu mengenai dzurriyyat Rasul- Allah saw. tidaklah pada tempatnya dan tidak dapat dibenarkan, sebab itu merupakan penyamaan antara soal-soal keduniaan dan soal-soal keagamaan. Tanggapan beliau lebih jauh dapat diteliti dalam kitabnya yang berjudul Jala’ul-Afham halaman 177.

No comments:

Post a Comment