Tuesday, September 21, 2010

Hadits yang diriwayatkan oleh cucu Rasulallah saw. yang ke enam.

Mari kita rujuk hadits yang diriwayatkan dari keturunan Rasulallah saw. yang keenam, sehingga bagi pembaca lebih jelas bahwa fitnahan atau tuduh an mengenai terputusnya keturunan Rasulallah saw. yang dikeluarkan oleh golongan anti ‘Alawiyyun itu adalah tuduhan yang tidak berdasarkan dalil hanya berdasarkan kedengkian atau emosi belaka.  

“Dua orang ahli hadits  yaitu Abu Zar’ah AR-Rozi dan Muhammad bin Aslam At-Thusi bersama para penuntut ilmu dan ahli  hadits yang tidak terhitung jumlahnya menemui salah satu cucu Ali bin Husin bin Ali bin Abi Thalib yaitu Imam Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim bin Ja’far As-Shodiq bin Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal ‘Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib kw. (keturunan keenam dari Rasulallah saw.) yang sedang memasuki Naisabur melewati sebuah pasar. Kedua tokoh hadits ini menghadang beliau dan minta pada- nya untuk meriwayatkan hadits yang beliau dengar dari ayah atau kakeknya. Imam Ali Ridho ra. menghentikan kereta tunggangan- nya baghal peranakan antara keledai dan kuda serta berkata:

‘Ayahku Musa Al-Kadhim memberiku sebuah hadits dari ayahnya Ja’far As-Shodiq, dari ayahnya Muhammad Al-Baqir, dari ayahnya Ali Zainal Abidin dari ayahnya, Al-Husain dari ayahnya Ali bin Abi Thalib ra.. Ali bin Abi Thalib berkata; Kekasihku dan penyejuk hatiku Rasulallah saw. memberiku sebuah hadits. Beliau saw. bersabda: Jibril berkata kepadaku, Aku mendengar Allah yang Maha Agung berfirman; Lailaha illallah adalah bentengKu. Barangsiapa mengucapkannya, ia masuk kedalam bentengKu. Dan barangsiapa memasuki bentengKu, selamat dari siksaKu’ “.
           
Setelah itu Imam Ali Ridho ra. pergi meneruskan perjalanannya dan waktu itu menurut riwayat lebih dari 20.000 orang yang menulis hadits diatas ini. (Dinukil dan disusun secara bebas dari buku bahasa Indonesia yang berjudul sekilas tentang Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi muallif Simtud Duror karya saudara Novel Muhammad Alaydrus).

Riwayat yang semakna diatas ini hanya berbeda versinya diketengahkan juga oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya as-Showa’iq al-Muhriqoh” halaman: 310 pasal ketiga meriwayatkan tentang keturunan yang keenam dari Rasulallah saw. (yakni Imam Ali Ridho ini). Didalam kitabnya ini Ibnu Hajar menulis: Ketika ar-Ridho (Ali Ridho bin Musa Al-Kadhim) sampai di kota Naisabur, orang-orang berkumpul disekitar kereta tunggangannya. Ia (Ar-Ridho) mengeluarkan kepalanya dari jendela kereta sehingga dapat dilihat oleh khalayak. Kemudian (sambil memandanginya) mereka berteriak-teriak, menangis, menyobek-nyobek baju dan melumuri dengan tanah, juga menciumi tanah bekas jalannya kendaraannya…”. (Hal ini juga dinukil oleh as-Sablanji dalam kitab “Nur al-Abshar” Halaman: 168, pasal Manaqib Sayid Ali ar-Ridho bin Musa al-Kadzim).

Pendapat Syeikh Abdul ‘Aziz Bin Baz
Seorang Mufti resmi kerajaan Saudi Arabia salah satu ulama dari golongan Wahabi Syeikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz pernah ditanya oleh saudara kita dari Iraq mengenai anak cucu Rasulallah saw. yang memperlakukan orang lain dengan perlakuan yang tidak semestinya mereka lakukan. Jawaban Syeikh terhadap pertanyaan saudara dari Iraq ini dimuat dalam majalah ‘AL-MADINAH’  halaman 9 nomer 5692 tanggal 07- Muharram 1402 H bertepatan tanggal 24 oktober 1982 sebagai berikut:

“Orang-orang seperti mereka (cucu Nabi saw.) itu terdapat diberbagai tempat dan negeri. Mereka terkenal juga dengan gelar ‘Syarif ’. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang mengetahui, mereka itu berasal dari keturunan ahlulbait Rasulallah saw. Diantara mereka itu ada yang silsilahnya berasal dari Al-Hasan ra. dan ada pula yang berasal dari Al-Husain ra. Ada yang dikenal dengan gelar ‘Sayyid’ dan ada juga yang dikenal dengan gelar ‘Syarif’. Itu merupakan kenyataan yang diketahui umum di Yaman dan di negeri-negeri lain. Mereka itu sesungguhnya wajib bertaqwa kepada Allah dan harus menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan Allah bagi mereka. Semestinya mereka itu harus menjadi orang-orang yang paling menjauhi segala macam keburukan.
           
Kemuliaan silsilah mereka wajib dihormati dan tidak boleh disalah gunakan oleh orang yang bersangkutan. Jika mereka diberi sesuatu dari Baitul-Mal itu memang telah menjadi hak yang dikaruniakan Allah kepada mereka. Pem- berian halal lainnya yang bukan zakat, tidak ada salahnya kalau mereka itu mau menerimanya. Akan tetapi kalau silsilah yang mulia itu disalahgunakan, lalu ia beranggapan bahwa orang yang mempunyai silsilah itu dapat mewajibkan orang lain supaya memberi ini dan itu, sungguh itu merupakan per buatan yang tidak patut. Keturunan Rasulallah saw. adalah keturunan yang termulia dan Bani Hasyim adalah yang paling afdhal/utama dikalangan orang-orang Arab. Karenanya tidak patut kalau mereka melakukan sesuatu yang  mencemarkan kemuliaan martabat mereka sendiri, baik berupa perbuatan, ucapan ataupun perilaku yang rendah.
           
Adapun soal menghormati mereka, mengakui keutamaan mereka dan memberikan kepada mereka apa yang telah menjadi hak mereka, atau memberi maaf atas kesalahan mereka terhadap orang lain dan tidak mempersoalkan kekeliruan mereka yang tidak menyentuh soal agama, semuanya itu adalah kebajikan. Dalam sebuah hadits Rasulallah saw. berulang-ulang mewanti-wanti: ‘Kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku…kalian kuingatkan kepada Allah akan ahlulbaitku’. Jadi, berbuat baik terhadap mereka, memaafkan kekeliruan mereka yang bersifat pribadi, menghargai mereka sesuai dengan derajatnya, dan membantu mereka pada saat-saat membutuhkan, semuanya itu merupakan perbuatan baik dan kebajikan kepada mereka.”. Demikianlah pengakuan Syeikh Abdul Aziz bin Baz tentang masih wujudnya cucu nabi saw.

Pendapat Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA)
H.Rifai, seorang Indonesia Islam yang tinggal di Florijn 211, Amsterdam Bijlmermeer, Belanda pada tanggal 30 desember 1974 telah mengirim surat kepada Menteri Agama H.A. Mukti Ali dimana ia mengajukan pertanyaan, ‘Benarkah habib Ali Kwitang dan habib Tanggul keturunan Rasulallah saw.’ ?, dan mohon penjelasan secukupnya mengenai beberapa hal.

Oleh Menteri Agama hal ini diserahkan kepada Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) untuk menjawabnya melalui Panji Masyarakat, dengan pertimbangan agar masalahnya dapat diketahui umum dan manfaatnya lebih merata. Sebagian isi yang kami kutip mengenai penjelasan Prof.Dr.H. HAMKA tentang gelar Sayyid yang dimuat dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 sebagai berikut:

“Rasulallah saw. mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau saw. dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid  jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.

Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
           
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
           
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
           
Dalam pergolakan aliran lama dan aliran baru di Indonesia , pihak Al-Irsyad yang menantang dominasi kaum Ba’alwi (Alawiyyun), menganjurkan agar yang bukan keturunan Al-Hasan dan Al-Husain memakai juga titel Sayyid dimuka namanya. Gerakan ini sampai menjadi panas. Tetapi setelah keturunan Arab Indonesia bersatu, dengan pimpinan A.R.Baswedan, mereka anjurkan menghilangkan perselisihan dan masing-masing memanggil temannya dengan ‘Al-Akh’ artinya Saudara.
           
Selanjutnya kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Sholeh di Tanggul  Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh  dari cucu Rasulallah saw. Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”. (Demikianlah nukilan dan susunan secara bebas mengenai penjelasan Prof.Dr.HAMKA tentang gelar Sayyid).

No comments:

Post a Comment