Tuesday, September 21, 2010

Siapakah sebenarnya yang dimaksud Ahlul-Bait ?

Perbedaan faham, pengertian atau pendapat mengenai kata Aal (Ahlul-bait atau keluarga) Muhammad saw. bukan masalah baru. Kelainan mengartikan kata tersebut telah berlangsung sejak masa lampau. Karena itu adanya perbedaan pendapat dalam mengartikan kata tersebut pada zaman kita sekarang ini, tidak mengejutkan. Tidak lain ini hanya merupakan kelanjutan dari perbedaan yang pernah terjadi zaman dahulu. Hingga kapan perbedaan itu akan berakhir sepenuhnya ditangan Allah swt.. Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan.

Para ahli figih tidak semuanya sepakat dalam memberikan makna Aali. Dengan adanya perbedaan tersebut mereka juga berbeda dalam menentukan hukum. Imam Hanafi, Maliki dan Ahmad telah mengatakan bahwa Aali dan Ahli adalah sama arti atau maknanya, namun masing-masing diantara mereka memberi ketentuan yang berlainan.

Imam Hanafi berpendapat bahwa Ahli Bait seseorang, Aali dan jenisnya adalah satu yaitu setiap orang yang mempunyai pertalian nasab, sekali pun kepada nenek moyangnya baik yang muslim maupun yang tidak muslim. Ada pula yang mensyaratkan Islamnya ayah atau datuk yang paling tinggi. Maka semua anak yang dinasabkan kepada ayah ini termasuk lelaki, wanita dan anak-anak adalah ahli keluarganya.

Imam Malik berpendapat lain lagi bahwa kata Aali adalah orang yang mendapat asobah dan setiap orang yang mendapat asobah dan setiap wanita jika ia bergabung dengan lelaki maka ia menjadi asobah. Imam Hanbali berpendapat bahwa Aali seseorang dan Ahli Baitnya, kaumnya, keturunan dan kerabatnya adalah sama maknanya. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat bahwa Aali seseorang adalah kerabat dan keluarga yang di tanggung nafkahnya, sedangkan Ahli Baitnya adalah kerabat dan isterinya.

Sedangkan arti Aali dalam kalimat selawat kepada Nabi saw. dan arti kata ‘Ahlul-Bait’ dalam firman Allah swt. surat Al-Ahzab : 33, ini mempunyai pengertian khusus yang bermakna: ‘keluarga/kerabat Rasulallah saw.’. Pendapat terbanyak dari ulama pakar mengatakan bahwa yang dimaksud disini ialah kerabat beliau saw. yang diharamkan kepada mereka menerima sedekah atau zakat. Ada lagi yang mengatakan Aali Muhammad berarti semua ummat Muhammad saw. yang menerima perintah beliau saw. atau orang yang bertakwa, termasuk Imam Malik dan Al-Azhari cenderung dengan pendapat ini, sedangkan Baihaqi dan lain-lain menolak pendapat ini.

Seandainya arti Aali Muhammad itu setiap mukmin yang bertakwa seperti pendapat Imam Malik diatas niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka, sebagaimana diharamkan kepada keluarga Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang sebenarnya!!. (baca keterangan selanjutnya).

Pendapat yang terbanyak mengenai Aali Muhammad saw. dalam kalimat selawat ialah Rasulallah saw. dan keturunannya termasuk disini Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, begitu juga yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i dalam Harmalah yang dikutip dari Al-Azhari, Baihaqi dan lain-lain, serta di kemukakan juga oleh mayoritas sahabat-sahabat baginda Rasulallah saw. Mereka berdalil pada hadits Rasulallah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa beliau saw. bersabda: ‘Sesungguhnya sedekah diharamkan kepada Muhammad dan juga kepada Aali Muhammad’.

Dalam kaitannya masalah tersebut, yang penting bagi kita ialah mengetahui benar duduk persoalannya, dan untuk itu sangat diperlukan penjelasan. Sebagai bahan pemikiran baiklah kita ketengahkan beberapa pengertian/ paham para ulama diantaranya Ibnul Qayyim di kitabnya Jala’ul-Afham serta para ulama lainnya. Uraian/penjelasan makna Aal (Ahlul-bait atau keluarga) Muhammad Rasulallah saw. dan Ahlul-Bait dalam surat Al-Ahzab:33, para ahli tafsir  mempunyai beberapa pendapat sebagai berikut:

Pengertian (faham) pertama: Yang dimaksud dengan Aal Muhammad saw. ialah mereka yang oleh Rasulallah saw. diharamkan menerima sedekah/ shodaqah. Mengenai siapa mereka ini terdapat tiga macam pendapat di kalangan ulama:

a). Mereka itu adalah anak-cucu keturunan Bani Hasyim dan Bani Al-Mutthalib. Pendapat ini sesuai dengan madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali. Demikian juga menurut Ibnul-Qayyim, Ibnu Taimiyyah dan lain-lain..

b). Yang dimaksud Aal Muhammad saw. ialah khusus anak cucu keturunan Bani Hasyim, pendapat ini termasuk dalam madzhab Hanafi. Sebenarnya pendapat ini berasal dari Imam Ahmad bin Hanbal berdasarkan ta’rif (kesimpulan) Abul Qasim, sahabat Imam Malik bin Anas.

c). Aal Muhammad ialah mereka anak cucu keturunan Bani Hasyim dan kaum kerabat dekat mereka, baik menurut garis silsilah keatas mau pun ke bawah hingga anak cucu keturunan Ghalib. Kesimpulan seperti ini dikemukakan oleh Asyhab, seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga menurut penulis kitab Al-Jawahir dan menurut Al-Lakhmiy dalam kitab At-Tabasshur. Riwayat ini sesungguhnya berasal dari Al-Ashba’, tetapi tidak disebut nama Al-Ashba’ sebagai salah satu sumbernya.

Pihak yang berpegang pada tiga macam pengertian (a,b,c) tersebut sepakat menetapkan, bahwa Aal Muhammad saw. diharamkan menerima shodaqah. Mengenai ini tidak ada perbedaan pendapat antara mereka, sebab nash mengenai itu berasal dari Rasulallah saw. sendiri.

Dalil-dalil yang digunakan pengertian/faham pertama ini ialah:
1). Yang diriwayatkan oleh Al-Bukhori didalam Shohih-nya dari Abu Hurairah ra. sebagai berikut: “Pada musim panen kurma datanglah beberapa orang kepada  Rasulallah saw. membawa buah kurma hingga terkumpul banyak di rumah beliau saw.. Tak lama kemudian datanglah Al-Hasan dan Al-Husain ketika itu masih kanak-kanak lalu bermain-main dengan beberapa buah kurma. Al-Hasan ra memasukkan kedalam mulut buah kurma yang diambilnya hendak dimakan. Melihat itu Rasulallah saw.cepat-cepat mengeluarkan buah kurma itu dari mulut cucunya sambil berkata: ‘Apakah engkau tidak mengerti bahwa keluarga (aal) Muhammad tidak makan shadaqah’ “? Imam Muslim meriwayatkan hadits ini dengan susunan kalimat ‘Shadaqah tidak dihalalkan bagi kami’.

2a). Hadits shohih berasal dari Zaid bin Al-Arqam yang menuturkan sebagai berikut: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berkhutbah didepan kami, dekat sumber air bernama Khuma, terletak diantara Makkah dan Madinah. Setelah memanjatkan puji syukur kehadirat Allah, mengingatkan dan memberi nasihat-nasihat kepada kami, beliau saw. lalu menyatakan: “Amma ba’du, sesungguhnya aku adalah manusia. Tidak lama lagi akan datang kepadaku utusan Allah (malaikat jibril) dan akan kuterima. Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang. Ambillah Kitabullah itu dan berpeganglah teguh padanya. Kemudian beliau saw. melanjutkan setelah berhenti sejenak; Dan ahlu-baitku…Kuingatkan kalian kepada Allah mengenai ahlu-baitku –beliau mengulangi tiga kali”.

Mendengar hadits dari Zaid tersebut Hashin bin Sarbah bertanya: “Hai Zaid, siapakah ahlu-bait (keluarga) beliau saw.? Bukankah para ummul mu’minin (isteri-isteri beliau) ahlu-bait beliau? Zaid menjawab: ‘Para isteri beliau termasuk ahlubaitnya, tetapi orang-orang selain beliau saw. yang diharamkan menerima shadaqah juga termasuk ahlubait beliau'. Hashin bertanya; ‘Siapakah mereka itu’ ? Zaid menjawab: ‘Mereka ialah keluarga ‘Ali (bin Abi Thalib), keluarga ‘Aqil (bin Abi Thalib), keluarga Ja’far (bin Abi Thalib) dan keluarga Al-‘Abbas (bin ‘Abdul Mutthalib)’. Hashin bertanya; ’Apakah mereka semua diharamkan menerima shodaqah’? Zaid menjawab; ‘Ya, itu telah menjadi ketentuan Rasulallah, karena beliau telah menyatakan bahwa shadaqah tidak dihalalkan bagi aal (ahlu-bait, keluarga) Muhammad’ “.

b). Tetapi Imam Muslim meriwayatkan nash yang serupa diatas ini yang ber- asal dari sumber lain mengandung makna berlainan yaitu sebagai berikut: “…Kami bertanya (kepada Zaid): ‘Apakah para isteri beliau saw. termasuk ahlubait Rasulallah saw.’? Zaid menjawab: ‘Tidak, demi Allah! Sebab isteri mungkin hanya untuk sementara waktu saja hidup bersama suami. Bila terjadi perceraian, isteri akan kembali kepada orang tua atau sanak famili- nya. Ahlubait beliau ialah orang-orang dari mana beliau berasal, dan kaum kerabat beliau yang diharamkan menerima shodaqah, seperti beliau saw. sendiri ‘ “!

Imam Nawawi dalam uraiannya mengatakan, bahwa dua buah riwayat hadits diatas tersebut (2a/b) tampak berlawanan. Yang jelas diketahui ialah bahwa dalam kebanyakan riwayat yang diketengahkan oleh (Imam) Muslim mengenai soal itu, Zaid bin Arqam mengatakan: para isteri Rasulallah saw. bukan ahlubait beliau. Karena itu riwayat hadits yang pertama diatas harus di ta’wilkan, bahwa dimasukkannya para isteri Rasulallah saw. kedalam lingkungan ahlulbait, karena mereka itu tinggal bersama Rasulallah saw., dan diperlakukan oleh beliau sebagai keluarga. Beliau saw. memerintahkan supaya mereka itu dihormati dan dimuliakan serta disebut sebagai ‘tsaqal’. Beliau juga mengingatkan juga supaya hak-hak mereka dipelihara dan dipenuhi. Atas dasar penta’wilan itu maka para isteri Rasulallah saw. memang termasuk dalam lingkungan ahlulbait, tetapi mereka tidak termasuk orang-orang yang diharamkan menerima shodaqah. Dengan demikian hilanglah sifat berlawanan antara dua riwayat hadits yang diketengahkan oleh Imam Muslim.

3).  Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Az-Zuhri yang menerimanya dari ‘Urwah dan ‘Urwah menerimanya dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa: “Pada suatu hari Fathimah ra mengirim utusan kepada Abubakar Ash-Shiddiq ra.untuk menanyakan warisan yang dapat diterima dari ayahandanya (Rasulallah saw.). Abubakar menjawab bahwa ia mendengar sendiri Rasulallah saw.pernah menyatakan: ‘Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggal adalah shadaqah. Keluarga Muhammad diharamkan menerima shadaqah’ “. Dengan demikian jelaslah bahwa ahlu-bait Muhammad saw. mempunyai kekhususan-kekhususan tertentu, antara lain: Diharamkan menerima shadaqah, tidak mewarisi harta Nabi (jika ada), mereka berhak menerima seperlima bagian dari harta ghanimah (rampasan perang), dan berhak menerima ucapan shalawat.

4). Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Ibnu Syahab memberitakan atas anjuran beberapa orang sahabat, al-Fadhl bin Al-‘Abbas pernah datang menghadap Nabi saw., minta kepada beliau agar dirinya di angkat sebagai petugas pengumpul zakat. Nabi menjawab; ‘shadaqah bukan lain adalah kotoran, karenanya tidak halal bagi Muhammad (saw).dan ahlu-bait Muhammad (saw.)’.

5). Hadits riwayat Muslim dalam Shohih-nya berasal dari ‘Aisyah ra yang menuturkan: “Pada suatu hari ketika Rasulallah saw. siap menyembelih seekor kambing, beliau bersabda: ‘Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad dan dari Ummat Muhammad’, setelah itu barulah kambing disembelih”. Hadits ini menunjukkan kedudukan yang berlainan antara ahlu-bait Muhammad saw. dan ummat Muhammad saw. Ummat beliau adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau adalah khusus. Penafsiran kata aal (ahlu-bait atau keluarga) Muhammad saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw pasti lebih benar dan lebih utama dari- pada penafsiran orang lain.

Pengertian/paham kedua:
Paham pihak kedua ini mengatakan yang dimaksud Ahlul-Bait hanya untuk lima orang saja. Mereka ini dengan berdasarkan riwayat dari Aisyah, Ummu Salamah, Abu Said Al-Khudri dan Anas bin Malik [ra] tentang surat Al-Ahzab : 33, ‘Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan noda dan kotoran (dosa) dari kalian, ahlul bait , dan mensucikan kalian sesuci-sucinya’ turun hanya untuk lima orang saja yaitu: Rasulallah saw., Amirul mukminin Ali kw.,  Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain (ra). Rasulallah saw. juga telah bersabda seraya menunjuk kepada Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain: ‘Ya Allah mereka ini Ahli Baitku, maka hilangkanlah noda kotoran (ar-rijsa) dari  mereka  dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’.  
   
Hadits-hadits yang semakna, silahkan rujuk:
Shahih Muslim, kitab Fadhail Ash-Shahabah, bab Fadhail Ahlul Bait Nabi,  jilid 2, hal.368, cet.Isa Al-Halabi; jilid 15 hal.194, syarah An-Nawawi,  cet.Mesir ; Shahih At-Tirmidzi, jilid 5, hal. 30, hadits ke 3258; hal. 328 hadits ke 3875, cet. Darul Fikr.; Musnad Ahmad bin Hanbal jilid 5, hal.25, cet. Darul Ma’arif, Mesir; Musnad Ahmad jilid 3, hal.259 dan 285; jilid 4, hal.107; jilid 6 hal.292, 296, 298, 304 dan 306 , cet. Mesir.; Al-Mustadrak Al-hakim, jilid 3, hal.133, 146, 147, 158 ; jilid 2, hal. 416 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 22 hal. 6, 7 dan 8, cet.Al-Halabi Mesir ; Tafsir Al-Qurtubhi jilid 14, hal. 182, cet. Kairo ; Tafsir Ibnu Katsir jilid 3, hal. 483, 494 dan 495, cet. Mesir ; Tafsir Al-munir Lima’alim At-Tanzil, oleh Al-jawi, jilid 2 hal. 183 ; Al-Mu’jam Ash-Shaghir, oleh At-Thabarani jilid 1, hal. 65 dan 135 ;  Khashaish Amirul Mu’minin, oleh An-Nasa’i Asy-Syafi’i hal.4, cet. At-  Taqaddum Al-‘Ilmiyah, Mesir ; Cet.Beirut hal. 8 ; cet.Al-Haidariyah hal.49 ; Tarjamah Al-Imam Ali bin Abi Thalib, dalam tarikh Damsyiq, oleh Ibnu Asakir Asy-Syafi’i jilid 1, hal. 185 ; Kifayah Ath-Thalib, oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i , hal.45, 373-375 ; Usdul Ghabah fi Ma’rifati Ash-Shahabah, oleh Ibnu Atsir Asy-Syafi’i, jilid 2, hal. 12, 20 ; jilid 3 hal.413 ; jilid 5 hal. 521, 589 ;  Ad-Durrul Mantsur, oleh As-Suyuthi jilid 5, hal. 198, 199;Al-Itqan fi ‘ulumil Qur’an jilid 4 hal. 240, cet.Mathba’ Al-Masyhad Al-Husaini, Mesir ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi, hal. 107, 108, 228, 229, 230, 244, 260 dan 294, cet.Istanbul ; cet.Al-Haidariyah hal. 124, 125, 135, 196, 229, 269, 271, 272, 352 dan 353. Dan masih banyak lagi yang tidak bisa kita cantumkan disini semua karena mengingat halaman buku ini.

Jawad Mughniyyah didalam kitabnya Al-Husain Wal Qur’an mengatakan:
“Sebagian besar para ahli tafsir berpegang pada sebuah hadits shohih yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al-Khudri ra yang menuturkan bahwasanya Rasulallah saw. telah menegaskan:’Ayat itu turun mengenai lima orang; Aku sendiri, ‘Ali (bin Abi Thalib ra), (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain’. Atas dasar penegasan beliau itu maka yang dimaksud ahlul-bait adalah lima orang keluarga Nubuwwah tersebut. Kebenaran tersebut diperkuat oleh sebuah hadits shohih lainnya yang diketengahkan oleh banyak ulama hadits, yaitu Haditsul-Kisa “.

Dengan demikian jelas menurut paham kedua ini yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. adalah hanya lima orang yang tersebut diatas ini (dan keturunan mereka), hal ini diperkuat lagi dengan adanya hadits Al-Kisa dan hadits Tsaqalain. (baca keterangan selanjutnya tentang hadits al-Kisa’ dan hadits Tsaqalain)

Menurut ulama, pendapat kedua ini adalah adalah pendapat yang terbanyak di riwayatkan dalam hadits-hadits dibandingkan pendapat-pendapat lainnya serta penafsiran  yang paling tepat dan benar yang banyak diterangkan oleh ulama-ulama pakar ahli tafsir dan hadits.

Pengertian/paham ketiga:  
Aal Muhammad saw. adalah anak cucu keturunan beliau saw. dan khususnya para isteri beliau saw. Hal itu dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul Bir dalam At-Tamhid. Dalam kitab ini ia menguraikan sebuah hadits berasal dari Hamid As-Sa’idiy yang menuturkan: “Ada sementara golongan yang menggunakan hadits sebagai hujjah/dalil, bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan (dzurriyyah) beliau saw. Hal ini didasarkan pada pernyataan Rasulallah saw. didalam hadits Malik yang berasal dari Nu’aim Al-Mujmar, dan dalam hadits lain yang tidak dikemukakan oleh Imam Malik. Yaitu sebuah hadits yang nashnya berbunyi: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada para isteri dan anak cucu keturunan beliau’ “.

Pihak paham ketiga ini mengatakan bahwa hadits tersebut menegaskan bahwa Aal Muhammad saw. ialah para isteri dan anak cucu keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh lagi mereka ini mengatakan: “Orang yang bertemu dengan salah satu dari isteri Nabi saw. atau dengan salah satu dari anak cucu keturunan beliau, boleh mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat kepada anda (shollallahu ‘alaika)’. Bila tidak bertemu langsung, bolehlah orang mengucapkan: ‘Allah telah melimpahkan shalawat kepadanya (shollallahu ‘alaihi)’. Akan tetapi kepada selain mereka ini tidak di perbolehkan”.

Selanjutnya mereka berpendapat, bahwa kata aal, ahlul-bait dan ahl mempunyai arti yang sama. Keluarga dan anak cucu keturunan  seseorang adalah sama artinya, yaitu para isteri dan anak cucu keturunannya. Persamaan arti kata-kata ini mereka dasarkan pada hadits yang telah kita kemukakan diatas.

Dalil-dalil pengertian atau faham ketiga ialah:
a). Ibnu ‘Abdul-Bir menunjuk kepada hadits Ibnu Hamid As-Sa’idi sebagai berikut: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada isteri-isterinya dan kepada anak-cucu keturunannya’. Sedangkan dalam hadits yang lain terdapat susunan kalimat: ‘Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan kepada aal (ahlu-bait) Muhammad’. Maksud hadits yang terakhir ini menyimpulkan makna hadits yang pertama.

b). Selain itu mereka ini berdalil dengan hadits Abu Hurairah ra. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim. Abu Hurairah ra menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menyatakan dalam do’anya; “Ya Allah, anugerahilah aal (keluarga) Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’ (yakni rizki untuk makan sehari-hari)”. Do’a beliau saw. ini benar-benar terkabul dan ternyata tidak meliputi semua anak cucu keturunan Bani Hasyim dan anak cucu keturunan Bani ‘Abdul Mutthalib. Diantara mereka itu hingga sekarang banyak yang menjadi hartawan dan mendapat rizki lebih dari sekedar cukup untuk makan sehari-hari. Lain halnya para isteri Nabi dan anak-cucu keturunan Nabi saw. yang hanya beroleh rizki sekedar cukup untuk makan sehari-hari.

c).  Terdapat sebuah riwayat yang menuturkan bahwa isteri Rasulallah saw., ‘Aisyah ra., pernah menerima hadiah kekayaan cukup besar dari seorang penduduk. Akan tetapi begitu menerimanya seketika itu juga dibagikan kepada kaum fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan pertolongan, hingga habis semuanya. Melihat kenyataan itu jariyahnya (pelayannya) tercengang, lalu berkata: ‘Seumpama ibu tinggalkan barang satu dirham, tentu kita dapat membeli daging’. ‘Aisyah ra menjawab; ‘Seumpama engkau tadi meng- ingatkan, itu tentu kulakukan’.

d). Sebuah hadits shohih dari ‘Aisyah ra. yang pernah terus terang mengatakan:”‘Aal (keluarga) Muhammad saw. tidak pernah kenyang makan roti gandum berturut-turut selama tiga hari”. Demikianlah keadaannya hingga saat beliau pulang ke haribaan Allah swt. Dari hadits ini golongan faham ketiga menarik suatu pengertian, bahwa anak cucu keturunan Al-‘Abbas dan anak-cucu keturunan ‘Abdul-Mutthalib tidak termasuk didalam makna ucapan ‘Aisyah ra. yakni tidak termasuk aal (keluarga) Rasulallah saw.

Mereka ini menegaskan bahwa isteri seseorang adalah keluarganya dan tidak diragukan lagi bahwa para Ummul Mu’minin (para isteri Rasulallah ) adalah keluarga beliau saw.. Kedudukan mereka ini disamakan dengan keturunan beliau saw. karena mereka ini juga tidak mempunyai silsilah (langsung) keatas dengan beliau saw., sebagaimana halnya dengan anak cucu keturunan Nabi saw. kecuali putera-puteri beliau saw. tidak mem punyai hubungan silsilah langsung dengan Nabi saw. yakni melalui Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw. dan Siti Fathimah Az-Zahra ra.

Para isteri Nabi saw.adalah termasuk mereka-mereka yang diharamkan nikah dengan pria lain sepeninggal Rasulallah saw. Mereka adalah isteri-isteri beliau didunia dan akhirat. Karena hubungan khusus mereka dengan Nabi saw. inilah mereka disamakan kedudukannya dengan keturunan beliau dengan kata lain mereka ini termasuk juga aal (ahlu-bait, keluarga) Nabi saw.. Mereka memandang para isteri Nabi saw. termasuk juga orang-orang yang diharamkan menerima shodaqah pendapat Imam Ahmad bin Hanbal karena shodaqah adalah kotoran dari orang lain. Allah swt. telah memelihara kemuliaan dan keagungan Nabi dan Rasul-Nya beserta segenap anggota keluarga beliau dari setiap kotoran yang diberikan kepada mereka sebagai shodaqah. Begitu juga menurut paham ketiga, hadits-hadits tersebut diatas menunjukkan bahwa para isteri Nabi saw. berhak menerima sholawat.

Alangkah anehnya jika Rasulallah saw. sendiri telah berdo’a: ‘Ya Allah anugerahilah keluarga Muhammad rizki berupa makanan sehari-hari’; ‘Ya Allah terimalah (sembelihan) ini dari Muhammad, dari keluarga Muhammad dan dari ummat Muhammad’; ’Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad, kepada isteri-isteri Muhammad dan kepada anak cucu keturunan Muhammad… dan ‘Aisyah ra. sendiri terus terang mengatakan: ‘Keluarga Rasulallah tidak pernah kenyang makan roti gandum selama tiga hari berturut-turut’, tetapi bersamaan dengan semuanya itu lalu orang mengata- kan bahwa para isteri Nabi saw. tidak termasuk dalam ucapan beliau saw. ‘Bahwa shodaqah tidak halal bagi Muhammad dan bagi aal (keluarga) Muhammad’. Padahal jelaslah bahwa shodaqah itu merupakan kotoran!! Demikianlah argumentasi pengertian (faham) ketiga ini.

Ada pihak lain yang menyanggah faham ketiga ini dengan mengatakan sebagai berikut: “Jika para isteri Nabi diharamkan menerima shodaqah, tentu mawali (budak-budak asuhan) mereka diharamkan juga menerima shodaqah”.

Sanggahan ini sangat lemah, sebab jauh untuk disamakan antara para isteri Nabi saw. dan mawali mereka! Pengharaman menerima shodaqah yang berlaku bagi para isteri Nabi saw. sama sekali bukan menurut dzatnya (esensi pribadinya masing-masing), melainkan semata-mata karena terbawa oleh pengharaman shodaqah bagi Rasulallah saw.. Mereka sebelum menjadi isteri Nabi saw, mereka halal menerima shodaqah, yakni sebelum mempunyai hubungan dan ikatan khusus dengan Nabi saw.. Dengan demikian pengharam- an yang berlaku bagi mereka ini merupakan cabang (sempalan) dari pengharaman yang berlaku bagi suami mereka, yakni Rasulallah saw.. Dengan demikian sangat jelas bahwa budak-budak asuhan (mawali) tidak bisa disamakan kedudukannya dengan para isteri Rasulallah saw.!

Pengertian/paham keempat:
Pihak ini berkata yang dimaksud Ahlul-Bait pada ayat Al-Ahzab tersebut adalah para isteri Rasulallah saw. saja, karena mulai dari ayat 28 sampai akhir ayat 34 dalam surat ini berkaitan dengan para isteri Nabi saw. Jadi bagaimana mungkin ditengah-tengah terselip persoalan lain? Tidaklah pada tempatnya jika para Ummul Mu’minin hendak dikeluarkan dari pengertian aal atau ahlu-bait Rasulallah saw.

Tetapi penafsiran paham keempat ini dibantah oleh para ulama tafsir lainnya yaitu yang mengartikan makna ahlul-bait dengan ahlul-aba atau ahlul-Kisa’  berdasarkan dalil-dalil secara nash (baca hadits Al-Kisa’ dihalaman berikutnya). Juga para ahli tafsir yang menyanggah paham keempat ini mengatakan: Kalau yang dimaksud ahlul-bait hanya para isteri Nabi saw. saja tentu dalam ayat itu tidak menggunakan dhamir (kata ganti nama) ’Kum  (kalian lelaki dan wanita) melainkan menggunakan dhamir Kunna’ (kalian wanita)!!
Pihak faham keempat ini menjawab: Digunakannya dhamir ‘Kum’ karena ayat itu menunjuk kepada ‘Ahlu’. Menurut tata bahasa Arab kata ahlu adalah mudzakkar (menunjukkan lelaki), bukan muannats (menunjukkan wanita). Karena itulah Al-Qur’an menggunakan dhamir Kum tidak menggunakan dhamir Kunna.

Jumhurul-ulama (para ulama tafsir pada umumnya) berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan kata ahlul-bait dalam surat Al-Ahzab:33 ialah dua pihak sekaligus yaitu Lima orang (yang tersebut diatas) dan para isteri Rasulallah saw. Para ulama tafsir ini yakin bahwa pengertian kata ahlul-bait yang mencakup dua belah pihak itu lebih sesuai dengan semua dalil yang ada. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Athiyyah: “Para Ummahatul-Mu’minin (para isteri Nabi saw) tidak berada diluar pengertian ahlul-bait. Sebab, kata ahlul-bait lazim berarti semua anggota keluarga, dan isteri-isteri adalah termasuk anggota keluarga”. An-Nafsiy menegaskan; firman Allah yang menggunakan dhamir Kum mengandung petunjuk, bahwa para Ummahatul-Mu’minin termasuk dalam pengertian kata ahlul-bait. Sebab dhamir Kum berlaku bagi lelaki dan wanita bersama-sama. Demikianlah pula pendapat Zamakhsyariy, Al-Baidhawiy dan Abus-Sa’ud.

Imam Fakhrur-Raziy pun dalam pernyataannya mengatakan:
”Dikalangan para ahli tafsir memang terjadi perbedaan pendapat mengenai arti kata ahlul-bait. Karena itu lebih baik dikatakan, mereka itu terdiri dari para Ummahatul-Mu’minin, putri beliau saw. (Siti Fathimah ra) bersama suaminya (Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) dan dua orang cucu beliau saw. (Al-Hasan dan Al-Husain-radhiyallahu ‘anhuma). ‘Ali bin Abi Thalib termasuk ahlul-bait karena ia menjadi suami putri Rasulallah saw. dan selalu bersama beliau “.

Dengan keterangan pada pihak keempat diatas bisa diambil kesimpulan bahwa pendapat yang terbanyak dan penafsiran yang paling tepat yang dimaksud Ahlu-Bait Rasulallah saw. ialah lima orang yang tersebut diatas dan para isteri Rasulallah saw.

Pengertian/paham kelima:
Aal Muhammad saw. ialah semua pengikut Muhammad saw. hingga hari terakhir kelak (hari kiamat). Hal ini dikemukakan oleh Ibnu ‘Abdul-Bir dan sebagian ulama. Orang yang pertama-tama mengemukakan pendapat tersebut ialah Jabir bin ‘Abdullah ra. Dialah yang disebut oleh Al-Baihaqi dan diriwayatkan pula oleh Sufyan Ats-Tsauri. Beberapa ulama sahabat Imam Syafi’i pun menetapkan penafsir- an seperti itu, sebagaimana dikemukakan oleh At-Thabari dalam salah satu tulisannya, kemudian dibenarkan oleh Syeikh Muyiddin An-Nawawi di dalam Syarh Muslim dan dibenarkan oleh Al-Azhari.

Golongan faham kelima ini mengatakan: “Keluarga Nabi dan Rasulallah yang diagungkan dan ditaati ialah semua orang yang meng- ikuti dan mentaati agama beliau saw. asalkan mereka mematuhi perintah, larangan, petunjuk dan tuntunan beliau, mereka itulah keluarga (aal) beliau, tidak pandang apakah mereka itu mempunyai hubungan kekerabatan dengan beliau atau tidak”. Mereka mengatakan juga; “bahwa kata aal dapat berarti pengikut, kata kerja ya-uu-lu (fi’il mudhari’) yang berasal dari kata kerja aa-la (fi’il madhi) dapat bermakna kembali (yakni kembali kepada yang diikutinya sebagai pemimpin). Para pengikut tentu kembali kepada yang diikuti, sebab yang diikuti itu dipandang sebagai pemimpin dan tempat bernaung”.

Mereka melanjutkan dalilnya: Dengan pengertian itulah Allah swt. berfirman “…kecuali aal (keluarga) Luth, mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing”. Yang dimaksud aal Luth ialah para pengikut Nabi Luth as. dan yang beriman kepada beliau, baik dari kaum kerabat Luth sendiri mau pun dari kaumnya yang lain. Demikian pula firman Allah swt.: “…Masukkanlah aal (keluarga) Fir’aun ke dalam siksa yang berat”. Yang dimaksud dengan aal Fir’aun adalah para pengikut Fir’aun. Mereka ini juga berdalil bahwa sebuah hadits riwayat Al-Baihaqy (telah kami kemukakan sebelumnya) dari Watsilah bin Al-Ashqa’ sebagaimana diketahui oleh para ahli hadits, Watsilah adalah seorang dari kabilah Bani Laits bin Bakr bin ‘Abdimanaf, ia bukan kerabat dekat Nabi, melainkan hanya pengikut beliau saw. yang menuturkan sebagai berikut:   

“Bahwasanya Rasulallah saw. pada suatu hari memanggil dua orang cucunya, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhuma-. Dua-duanya beliau dudukkan diatas pangkuan beliau, kemudian minta agar Fathimah Az-Zahra ra. bersama suaminya (Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw.) mendekat. Setelah semuanya berkumpul beliau lalu menyelimutkan sehelai kain lebar pada mereka berempat seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka inilah keluarga-ku (ahlii)’. Watsilah kemudian bertanya: Ya Rasulallah, apakah aku termasuk keluarga anda? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau termasuk keluargaku (ahlii)’ “.Demikianlah argumentasi pihak yang berpegang pada pengertian/ paham kelima ini.

Dalil pengertian pihak kelima ini sangat lemah, alasan-alasan kelemahannya pertama ialah: ‘Apakah benar Watsilah yang meriwayat- kan atau yang menjadi sumber riwayat hadits tersebut’? Sebab terdapat sumber riwayat yang lebih dapat dipercayai kebenarannya, yaitu hadits Al-Kisa yang bunyi kalimatnya (nash haditsnya) sama dengan hadits dari Watsilah diatas ini hanya nama Ummu Salamah ra berubah menjadi Watsilah. Begitu juga hadits yang di tuturkan oleh isteri Rasulallah saw. Ummu Salamah ra. ini kejadiannya (waktu Nabi saw. menyelimuti dirinya dan keluarganya) berada dirumah Ummu Salamah ra.sendiri.

Alasan kedua: Golongan yang berpegang pada faham kelima ini bertentangan dengan hadits-hadits shohih yang menuturkan keluarga (aal) Muhammad saw. haram untuk menerima shodaqah. Bila yang dimaksud aal Muhammad ialah semua pengikut Muhammad saw. niscaya sedekah atau zakat tidak dibolehkan dan diharamkan kepada mereka padahal banyak para sahabat yang menerima zakat sebagaimana di haramkan kepada keluarga Rasulallah saw., Bani Hasyim dan Bani Abdul Muttalib, tetapi tidak ada yang berpendapat demikian! Pendapat ini sangat jauh dari penafsiran yang sebenarnya!!.

Alasan yang ketiga adalah: Hadits riwayat Imam Muslim, waktu Rasulallah menyembelih seekor kambing, beliau berdo’a: Ya Allah, terimalah (korban) dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad dan dari ummat Muhammadsetelah itu barulah kambing itu disembelih. Hadits riwayat Imam Muslim ini menunjukkan kedudukan yang jelas berlainan antara ahlu-bait/keluarga Muhammad saw. dan ummat Muhammad saw. Kalau ummat Muhammad saw. sama artinya dengan aal Muhammad, maka Rasulallah saw. cukup ber- do’a ‘Ya Allah, terimalah dari Muhammad, dari keluarga (ahlu-bait) Muhammad’ tanpa menambah kalimat ‘dan dari ummat Muhammad ‘.

Ummat beliau saw. adalah umum, sedangkan ahlu-bait beliau saw. adalah mempunyai makna yang khusus. Penafsiran kata aal Muhammad saw. yang diucapkan sendiri oleh Rasulallah saw. pasti lebih benar dan lebih utama daripada penafsiran orang lain. Lebih tidak pada tempatnya lagi, bahkan sama sekali tidak semestinya kata aal Muhammad dalam sholawat saat membaca tasyahhud (tahiyyat) dalam sholat, diartikan ummat Muhammad saw.!  Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang berlawanan dengan pendapat pihak kelima ini. Jadi golongan pihak kelima ini tidak bisa diterima dan di pertanggung jawabkan kebenarannya.

Pengertian faham keenam:
Pengertian golongan ini hampir sama dengan pengertian golongan kelima diatas mengenai Aal Muhammad saw., hanya golongan ini menambahkan adalah ummat Muhammad yang bertakwa. Pendapat demikian itu dike- tengahkan oleh Al-Qadhi Husain dan Ar-Raghib bersama jama’ahnya. Mereka ini berdalil kepada sebuah hadits yang dituturkan Ja’far bin Ilyas dan dikatakan berasal dari Anas bin Malik sebagai berikut:
“Rasulallah saw. pernah ditanya oleh seseorang tentang siapakah sebenarnya yang dimaksud dengan kata aal Muhammad saw.? Beliau saw. menjawab: ‘Semua orang yang bertakwa’. Beliau lalu mengucapkan firman Allah swt.: ‘Sesungguhnya para waliyullah itu tidak mengkhawatirkan sesuatu dan tidak pula mereka itu merasa sedih. Mereka adalah orang-orang yang beriman dan ber takwa’ . (QS.Yunus:62-63).

Akan tetapi Imam Thabrani yang menyebut hadits tersebut sangat meragukan kebenarannya. Sebab menurut Ja’far, hadits itu didapat- nya dari Nu’aim bin Hammad, didengar oleh seorang bernama Nuh bin Abi Maryam yang menurut dia berasal dari Yahya bin Sa’id Al-Anshari yang mendengarnya dari Anas bin Malik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Thabrani, tidak ada yang meriwayatkan hadits seperti itu selain Nuh bin Abi Maryam. Hadits semakna berasal dari Nu’aim. Imam Baihaqi mengetengahkan hadits ini dari ‘Abdullah bin Ahmad bin Yunus, dari Nafi’ bin Hurmuz, oleh para ulama ahli hadits dipandang sebagai hadits yang tidak dapat diterima sebagai dalil, karena dua orang tersebut terkenal sebagai pembohong.

Pihak keenam ini juga menggunakan hadits Watsilah bin Al-Ashqa’ sebagai dalil (yang telah kami kemukakan pada kolom faham pihak ke empat). Alasan lain yang dikemukakan oleh pihak penganut faham keenam ini ialah: Firman Allah swt. didalam Al-Qur’an yang tertuju kepada Nabi Nuh as. mengenai nasib anak lelakinya disaat banjir melanda bumi; “Hai Nuh, sesungguhnya dia (anak lelakimu itu) tidak termasuk keluargamu (yang di janjikan keselamatannya). Perbuatan (dan sikap tingkah lakunya) bukanlah perbuatan baik” (QS Hud : 46). Selanjutnya golongan ini berkata: Karena anak lelaki Nabi Nuh as.itu menyekutukan Allah (berbuat syirik) dia dikeluarkan dari lingkungan keluarga (aal) Nabi Nuh as. Dengan demikian maka jelaslah kata pihak keenam ini aal Muhammad saw. adalah para pengikut beliau saw. yang bertakwa.

Dengan menghadapi masalah tersebut, Imam Syafi’i membantah  dalil diatas ini dengan jawaban yang tepat. Beliau mengatakan: “Yang dimaksud dengan kalimat ‘sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (ahlimu)’ dalam ayat tersebut  ialah, bahwa anak lelaki Nabi Nuh as. itu tidak termasuk orang-orang yang harus diangkut dalam bahtera, yakni orang-orang yang hendak diselamatkan dari bencana banjir besar. Karena sebelum ayat itu Allah swt. telah memerintahkan Nabi Nuh as. sebagai berikut: ‘Angkutlah didalamnya (bahtera) dua dari tiap pasang (jodoh) hewan dan (angkutlah juga) keluargamu kecuali yang terkena keputusan Allah (untuk dibinasa- kan)’ [QS.Hud:40]. Dengan demikian maka anak lelaki Nuh as. termasuk orang-orang yang tidak dijamin keselamatannya “.

Ibnul-Qayyim mengatakan: “Kalimat ayat itu sendiri telah menunjukkan kebenaran jawaban Imam Syafi’i, karena ayat tersebut menyata- kan lebih lanjut ‘dan barangsiapa yang beriman’ (QS Hud:40). Kalimat ini menunjuk kepada orang-orang beriman diluar keluarga Nabi Nuh as. Kalimat tersebut (dan yang beriman) berdiri sendiri disamping kalimat keluargamu (ahlaka) dan dua dari tiap pasang hewan. Dengan demikian maka kata ahlaka dalam ayat tersebut tidak mencakup pengertian pengikut yang beriman dan bertakwa”.

Demikianlah sebagian pengertian/paham dan uraian para ulama ahli tafsir mengenai makna Aal Muhammad dan kalimat Ahlul-Bait dalam ayat Al-Ahzab : 33. Sudah tentu masih banyak lagi pandangan para ulama lainnya yang tidak bisa kita cantumkan semuanya di buku ini.

Setelah adanya keterangan diatas, kita bisa menarik garis besar bahwa golongan yang berpegang pada faham kelima dan keenam yang tersebut diatas ini sangat lemah sekali dan tidak perlu kita permasalahkan, karena pendapat itu bertentangan dengan hadits-hadits shohih yang riwayatnya lebih banyak dan bisa lebih dipercaya bahwa aal Muhammad adalah lima orang dan para isteri-isteri beliau saw. serta amat jauh dari permasalahan yang sebenarnya begitu juga bertentangan dengan pendapat jumhur ulama!!

Lepas dari berbagai pendapat dan penafsiran semua yang tersebut diatas, yang sudah pasti dan tidak dapat disangkal menurut para ulama tafsir pada umumnya, yang lebih dekat dan sesuai dengan dalil-dalil yang ada yang dimaksud ahlul-bait dalam ayat Al-Ahzab: 33 ialah mencakup dua pihak sekaligus yaitu lima orang yang disebut dalam hadits-hadits shohih Nabi saw. dan para Ummahatul-Mu’minin (para isteri Nabi saw). Karena mereka ini tidak lain adalah hubungan keluarga Nabi saw. secara hakiki/sebenarnya.

Begitu juga lepas dari perbedaan pendapat mengenai masuk atau tidaknya para isteri Rasulallah saw. dalam pengertian Ahlu-Bait beliau saw., yang sudah pasti lima orang ialah Imam ‘Ali bin Abi Thalib dan Siti Fathimah Az-Zahra beserta kedua puteranya Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– adalah ahlul–bait Rasulallah saw.. Hal ini telah dengan bulat di benarkan oleh semua ulama Salaf dan Khalaf, dan dibenarkan pula oleh semua pakar sejarah Islam sejak zaman dahulu hingga zaman akhir ini serta diakui keabsahannya oleh segenap kaum muslimin. Dengan demikian maka dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw. bukan lain adalah keturun- an Ahlu-Bait beliau saw.!!

Begitu juga kedudukan dan martabat Siti Fathimah dan Imam ‘Ali serta dua orang puteranya sebagai Ahlu-Bait Rasulallah lebih diperkuat lagi dengan turunnya ayat Mubahalah (Aali-Imran:61) kepada beliau saw. sekaitan dengan bantahan kaum Nasrani Najran yang menolak kebenaran Al-Qur’an mengenai kedudukan Nabi ‘Isa as. Sedangkan orang-orang Bani Hasyim dan keturunannya ter- masuk dalam pengertian ahlul-bait atau tidak, jawabannya jelas; Mereka bukan ahlu-bait Rasulallah saw, tapi hanya dapat dimasukkan kedalam pengertian kata aal dengan tekanan pada arti kerabat. Wallahu a’lam .

1 comment:

  1. APAKAH ADA KETURUNAN AHLUL BAIT?

    Dlm Al Quran yang menyebut 'ahlulbait', rasanya ada 3 (tiga) ayat dan 3 surat.

    1. QS. 11:73: Para Malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah".

    Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah terdiri dari isteri dari Nabi Ibrahim.

    2. QS. 28:12: Dan Kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuan-perempuan yang mau menyusukan(nya) sebelum itu; maka berkatalah Saudara Musa: 'Maukahkamu aku tunjukkan kepadamu 'ahlulbait' yang akan memeliharanya untukmu, dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?

    Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka makna 'ahlulbait' adalah meliputi Ibu kandung Nabi Musa As. atau ya Saudara kandung Nabi Musa As.

    3. QS. 33:33: "...Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu 'ahlulbait' dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya".

    Ayat ini jika dikaitkan dengan ayat sebelumnya QS. 33: 28, 30 dan 32, maka makna para ahlulbait adalah para isteri Nabi Muhammad SAW.

    Sedangkan ditinjau dari sesudah ayat 33 yakni QS. 33:34, 37 dan 40 maka penggambaran ahlulbaitnya mencakup keluarga besar Nabi Muhammad SAW. yakni para isteri dan anak-anak beliau.

    Jika kita kaitkan dengan makna ketiga ayat di atas dan bukan hanya QS. 33:33, maka lingkup ahlul bait tersebut sifat dan maknanya menjadi universal terdiri dari:

    1. Kedua orang tua Saidina Muhammad SAW, sayangnya kedua orang tua beliau ini disaat Saidina Muhammad SAW diangkat sbg 'nabi' dan rasul sudah meninggal terlebih dahulu.

    2. Saudara kandung Saidina Muhammad SAW, tapi sayangnya saudara kandung beliau ini, tak ada karena beliau 'anak tunggal' dari Bapak Abdullah dengan Ibu Aminah.

    3. Isteri-isteri beliau.

    4. Anak-anak beliau baik perempuan maupun laki-laki. Khusus anak lelaki beliau yang berhak menurunkan ke-'nasaban'-nya, sayang tak ada yang hidup sampai anaknya dewasa, sehingga anak lelakinya tak meninggalkan keturunan.

    Bagaimana tentang pewaris tahta 'ahlul bait' dari Bunda Fatimah?. Ya jika merujuk pada QS. 33:4-5, jelas bahwa Islam tidaklah mengambil garis nasab dari perempuan kecuali bagi Nabi Isa Al Masih yakni bin Maryam.

    Lalu, apakah anak-anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali boleh kita anggap bernasabkan kepada nasabnya Bunda Fatimah?. ya jika merujuk pada Al Quran maka anak Bunda Fatimah dengan Saidina Ali tidaklah bisa mewariskan nasab Saidina Muhammad SAW.

    Kalaupun kita paksakan, bahwa anak Bunda Fatimah juga ahlul bait, artinya kita mau mengambil garis dari perempuannya (Bunda Fatimah), maka untuk selanjutnya yang dijadikan patokan nasab seharusnya pemegang waris tahta ahlul bait diambil dari anak perempuannya bukan dari anak lelakinya seperti Fatimah dan juga Zainab, bukan Hasan dan Husein sbg penerima warisnya.

    Dengan demikian sistim nasab yang diterapkan itu tidan sistim nasab berzigzag, setelah nasab perempuan lalu lari atau kembali lagi ke nasab laki-laki, ya seharusnya diambil dari nasab perempuan seterusnya.

    Bagaimana Saidina Ali bin Abi Thalib, anak paman Saidina Muhammad SAW, ya jika merujuk pada ayat-ayat ahlul bait pastilah beliau bukan termasuk kelompok ahlul bait. Jadi, anak Saidina Ali bin Abi Thalib baik anak lelakinya mapun perempuan, otomatis tidaklah dapat mewarisi tahta 'ahlul bait'.

    Kesimpulan dari tulisan di atas, bahwa pewaris tahta 'ahlul bait' yang terakhir hanya tinggal bunda Fatimah. Berarti anaknya seperti Saidina Hasan dan Husein maupun yang perempuan bukanlah pewaris tahta AHLUL BAIT.

    ReplyDelete