Tuesday, September 21, 2010

Sejarah dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah

Dengan adanya kebencian dan kedengkian orang terhadap keturunan Ahlul-Bait Rasulallah saw., mengingatkan kita kembali kepada sejarah Islam yaitu zaman dinasti Bani Umayyah dan dinasti Bani Abbasiyyah.

Menurut riwayat, kaum muslimin mulai dilanda perselisihan, pertengkaran dan perpecahan sejak masa-masa terakhir kekhalifahan ‘Utsman bin ‘Affan ra.’ yakni kurang lebih dalam periode terakhir dasawarsa ke empat Hijriah,  perang-perang saudara berkecamuk diantaranya:
Antara kekuatan trio ‘Aisyah, Thalhah, Zubair [radhiyallahu ‘anhum] dan kekuatan Amirul-Mu’minin Imam ‘Ali bin Abi Thalib ra. Perang saudara ini ber kobar di Bashrah, yang dalam sejarah Islam terkenal dengan nama ‘Waq’atul-Jamal’, disusul kemudian oleh perang saudara yang tidak kalah hebatnya, yaitu perang ‘Shiffin’, antara kekuatan Amriul-Mu’minin Imam ‘Ali ra, dan kekuatan pemberontak dibawah pimpinan Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Kemudian disusul dengan perang yang berkobar dikawasan yang terkenal dengan sebutan ‘Bainan-Nahrain’ (Diantara dua Bengawan), yakni daerah antara dua bengawan Tigris dan Eferat (Dajlah dan Al-Furat).

Pertengkaran dan perpecahan yang diakibatkan oleh perang saudara Bainan-Nahrain’ ini jauh lebih parah daripada yang diakibatkan perang saudara yang sebelumnya. Dalam perang saudara ini kekuatan Imam ‘Ali ra, terpecah dan sempal menjadi dua. Sebagian tetap setia kepada Amirul Mu’minin ‘Ali dan yang sebagian lainnya memberontak dan memerangi Imam ‘Ali ra. Sempalan atau pecahan inilah yang dalam sejarah Islam terkenal dengan kaum ‘Khawarij’, dibawah pimpinan ‘Abdullah bin Wahb Ar-Rasiby.

Kemudian disusul perang saudara yang berkobar dalam rangka kebijakan Imam ‘Ali ra. menumpas pemberontakan kaum Khawarij, di Nahrawand. Perang saudara ini lebih memperparah lagi perpecahan kaum muslimin. Dalam perang saudara di Nahrawand, kekuatan Imam ‘Ali ra. unggul dan berhasil menghancurkan kekuatan bersenjata kaum Khawarij, yang sejak terjadinya pembangkangansudah mengkafir-kafirkan Imam ‘Ali ra. (silahkan baca kitab ‘Imamul-Muhtadin Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib ra’ penerbit Yayasan Al-Hamidiy, Jakarta dan ‘Al-Fithatul-Kubra’ penerbit Pustaka Jaya, Jakarta).

Kekuatan-kekuatan anti Bani Hasyim yang sudah ada sebelum Islam, dengan kemenangan Imam ‘Ali itu mereka makin bertambah dendam. Sedangkan dalam perang ‘Shiffin’ kekuatan Imam ‘Ali ra. mundur teratur akibat pertengkaran dan pertikaian intern mengenai masalah ‘Tahkim bi Kitabillah ‘ (Penyelesaian secara damai berdasarkan Kitabullah).

Setelah kekuatan Imam ‘Ali ra mundur dan kembali ke Kufah, disana Amirul-Mu’minin menjadi sasaran pembunuhan gelap yang dilakukan oleh komplot- an Khawarij. Beliau tewas di tangan ‘Abdurrahman Muljam. Kekhalifahannya diteruskan oleh puteranya, Al-Hasan ra., tetapi sisa-sisa kekuatan pendukung ayahnya sudah banyak mengalami kemerosotan mental dan patah semangat. Bahkan terjadi penyeberangan ke pihak Mu’wiyah untuk mengejar kepentingan-kepentingan materi, termasuk ‘Ubaidillah bin Al-‘Abbas (saudara misan Imam ‘Ali ra.) yang oleh Al-Hasan ra, diangkat sebagai panglima perangnya !

Hilanglah sudah imbangan kekuatan antara pasukan Al-Hasan ra dan pasukan Mu’awiyah, dan pada akhirnya diadakanlah perundingan secara damai antara kedua belah pihak. Dalam perundingan itu Al-Hasan ra. menyerahkan kekhalifan kepada Mu’awiyah atas dasar syarat-syarat tertentu, berakhirlah sudah kekhalifahan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Seluruh kekuasaan atas dunia Islam jatuh ketangan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.

Dengan hilangnya kekhalifahan dari tangan Ahlul-Bait, mulailah masa pembasmian, pengejaran dan pembunuhan terhadap anak-cucu keturunan Ahlul-Bait dan pendukung-pendukungnya, yang dilancarkan oleh Daulat Bani Umayyah. Untuk mempertahankan kekuasaan Daulat Bani Umayyah, Mu’awiyah mengerahkan segala dana dan tenaga untuk mengobarkan semangat kebencian, terhadap Imam ‘Ali ra khususnya dan anak cucu ke turunannya. Semua orang dari ahlul-bait Rasulallah saw. direnggut hak-hak asasinya, direndahkan martabatnya, dilumpuhkan perniagaannya dan di ancam keselamatannya jika mereka berani menyanjung atau memuji Imam ‘Ali ra. dan tidak bersedia tunduk kepada kekuasaan Bani Umayyah.

Perintah dari para penguasa untuk mencaci maki, melaknat Imam ‘Ali ra itu sudah suatu perbuatan yang biasa-biasa saja, misalnya sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Turmudzi dari Sa’ad Ibnu Waqqash yang mengatakan:
“Ketika Mu’awiyah menyuruh aku untuk mencaci maki Abu Thurab (julukan untuk Imam ‘Ali ra), maka aku katakan kepadanya (kepada Mu’awiyah); Ada pun jika aku sebutkan padamu tiga perkara yang pernah diucapkan oleh Rasulallah saw. untuknya (untuk Imam ‘Ali ra), maka sekali-kali aku tidak akan mencacinya. Jika salah satu dari tiga perkara itu aku miliki, maka hal itu lebih aku senangi dari pada unta yang bagus. Ketika Rasulallah saw. meninggalkannya (meninggalkan ‘Ali ra) didalam salah satu peperangannya, maka ia (‘Ali ra) berkata; ‘Wahai Rasulallah, mengapa engkau tinggalkan aku bersama kaum wanita dan anak-anak kecil ?’.

Pada waktu itu aku (Sa’ad Ibnu Abi Waqqash) mendengar Rasulallah saw. bersabda; ‘ Apakah engkau tidak cukup puas jika engkau disisiku seperti Harun disisi Musa?, hanya saja tidak ada kenabian sepeninggalku.’ [HR.Bukhori, Muslim, Turmduzi --pen]. (Yang kedua) Dan aku pun mendengar beliau bersabda pada hari Khoibar; ‘Aku akan berikan panji-panji ini pada seseorang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya dan ia pun dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya’. Pada waktu itu kami sama-sama penuh berharap (agar dipilih oleh Nabi saw.), tetapi beliau saw. bersabda ; ‘Panggilkan ‘Ali kepadaku’ !  ‘Ali ra dihadapkan pada beliau saw. sedang ia sakit kedua matanya. Nabi saw. meludah pada mata ‘Ali kemudian beliau saw. memberikan panji-panji perang padanya sehingga Allah swt. memberi kemenangan kepadanya [Sahih Bukhari jilid 4 hal. 30/207,dll.]. (Yang ketiga) Ketika Allah swt. menurunkan ayat  Marilah kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kamu….. ayat Mubahalah Aal-Imran:6--pen. maka Rasulallah saw. memanggil ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain, kemudian beliau saw. berdo’a: ‘Ya Allah, mereka adalah keluargaku’ “. (dikutip dari kitab At-Taaj Al-Jaami’ Lil Ushuuli Fii Ahaadiitsir Rasuuli jilid 3 hal.709 cet. pertama th.1994 oleh Syeikh Manshur Ali Nashif Al-Husaini diterbitkan oleh CV Asy-Syifa’ Semarang)

Dalam kitab yang sama pada halaman 708 dikemukakan sebuah hadits di riwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim dari Sahal Ibnu Sa’ad ra yang mengatakan:
“Ketika kota Madinah dipimpin oleh seorang dari keluarga Marwan (baca:  Marwan Ibnu Hakam), maka sang penguasa memanggil Sahal Ibnu Sa’ad dan menyuruhnya untuk mencaci maki ‘Ali.  Ketika Sahal tidak mau melakukannya, maka sang penguasa berkata kepadanya; ‘Jika engkau tidak mau mencaci-maki ‘Ali, maka katakan semoga Allah swt mengutuk Abu Thurab’. Kata Sahal; ‘Bagi ‘Ali tidak ada suatu nama yang disenangi lebih dari pada nama Abu Thurab (panggilan Rasulallah saw. kepada Imam ‘Ali ra—pen.), dan ia amat bergembira jika dipanggil dengan nama itu’…sampai akhir hadits’ “. Dan masih banyak lagi riwayat  tentang pelaknatan, pencacian terhadap Imam ‘Ali ra dan penyiksaan kepada para pendukung dan pencinta ahlul-Bait yang tidak kami cantumkan disini.
 
Keadaan seperti itu berlangsung selama masa kekuasaan Daulat Bani Umay yah, kurang lebih satu abad, kecuali beberapa tahun saja selama kekuasaan berada ditangan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz ra. Kehancuran daulat Bani Umayyah diujung pedang kekuatan orang-orang Bani ‘Abbas, ternyata tidak menghentikan gerakan kampanye ‘anti Ali dan anak-cucu keturunannya’. Demikianlah yang terjadi hampir selama kejayaan Daulat ‘Abassiyyah, lebih dari empat abad !

Dengan adanya perpecahan politik, peperangan-peperangan diantara sesama kaum muslimin yang tersebut diatas hingga runtuhnya daulat ‘Abbasiyyah, tidak hanya memporak-porandakan kesatuan dan persatuan ummat Islam, tetapi juga tidak sedikit merusak ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. Berbagai macam pandangan, pemikiran dan aliran serta faham bermunculan. Hampir semuanya tak ada yang bebas dari pengaruh politik yang menguasai penciptanya. Yang satu menciptakan ajaran-ajaran tambahan dalam agama untuk lebih memantapkan tekad para pengikutnya dalam menghadapi lawan. Yang lain pun demikian pula, menafsirkan dan menta’wil kan nash-nash Al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw. sampai sesuai dengan prinsip pandangan mereka untuk membakar semangat para pengikutnya dalam menghadapi pihak lain yang dipandang sebagai musuh.

Belum lagi persaingan dikalangan intern masing-masing, sehingga bukan hanya golongan-golongan, paham dan aliran saja yang bermunculan, melainkan bermunculan juga berbagai macam sekte atau sempalan dari masing-masing golongan (baca “Sejarah Islam Dari Andalus Sampai Indus”, hal.114-149, penerbit Pustaka Jaya, Jakarta)

Permusuhan tiga pihak yang tersebut diatas itulah yang secara pokok mewarnai sikap kaum muslimin terhadap ahlul-bait Rasulallah saw.. Selama kurun waktu kekuasaan daulat Bani Umayyah dan daulat Bani ‘Abasiyyah khususnya selama kekuasaan daulat bani Umayyah sukar sekali dibayangkan adanya kebebasaan dan keleluasaan menuturkan hadits-hadits Rasulallah saw. tentang ahlul-bait beliau saw, apalagi berbicara tentang kebijakan adil yang dilakukan oleh Amirul Mu’minin ‘Ali bin Abi Thalib ra. dimasa lalu. Itu merupa- kan hal yang tabu.

Banyak tokoh-tokoh masyarakat yang pada masa itu sengaja menyembunyikan hadits-hadits Nabi yang berkaitan dengan ahlul-bait beliau saw., atau tidak meriwayatkan hadits-hadits dari ahlul-bait beliau saw. (yakni Imam ‘Ali, Al-Hasan, Al-Husain [ra] dan anak cucu keturunan mereka). Ada sebagian dari mereka yang sengaja melakukan dengan maksud politik untuk ‘mengubur’ nama-nama keturunan Rasulallah saw., tetapi banyak juga yang menyembunyikan hadits-hadits demikian itu hanya dengan maksud membatasi pembicaraannya secara diam-diam, demi keselamatan dirinya masing-masing.

Disamping dua cara tersebut, ada juga yang menempuh cara lain dan tidak kurang buruknya, yaitu mengubah dan mengganti kalimat hadits dari sumber aslinya (yaitu ucapan Rasulallah saw. atau ucapan keluarga beliau saw.). Kita ambil contoh sebuah hadits yaitu Hadits Al-Kisa. Sumber pertama/aslinya hadits ini diriwayatkan oleh isteri beliau sendiri yang bernama Ummu Salamah ra.. Ia menuturkan peristiwanya atas dasar kesaksiannya sendiri sebagai berikut: “Pada suatu hari Rasulallah saw. berada ditempat kediamanku bersama ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Bagi mereka kubuatkan khuzairah (makanan terbuat dari tepung gandum dan daging). Usai makan mereka tidur, kemudian Rasulallah menyelimutkan diatas mereka Kisa (jenis pakaian yang lebar) atau qathifah (semacam kain halus). Beliau lalu berdo’a: ‘Ya Allah, mereka itulah ahlu-baitku, hilangkanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya”. (HR. At-Thabari didalam ‘Tafsir-nya’).

Penuturan Ummu Salamah ra itu diriwayatkan juga oleh sumber-sumber lain dengan beberapa perubahan kalimat dan tambahan pada bagian terakhir kalimat (yaitu setelah akhir kalimat ‘mereka sesuci-sucinya’), contohnya berikut ini: Ketika itu Ummu Salamah bertanya:‘Apakah aku tidak termasuk mereka’? Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau berada dalam kebajikan’ .

Ada pula hadits semakna dengan tambahan pada bagian akhir kalimat sebagai berikut: Ummu Salamah ra bertanya: ‘Aku, ya Rasulallah, apakah aku tidak termasuk ahlul-bait’?  Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi’.

Hadits semakna yang lain lagi dengan tambahan kalimat terakhir: Ummu Salamah berkata: ‘Ya Rasulallah, masukkan aku bersama mereka’. Rasulallah saw. menjawab: ‘ Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’.

Hadits semakna juga dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut:
Ummu Salamah bertanya : ‘Apakah aku bersama mereka?’ Rasulallah saw. menjawab: ‘Engkau berada ditempatmu, engkau berada dalam kebajikan’.

Hadits semakna juga yang agak panjang, dengan tambahan kalimat terakhir sebagai berikut: Ummu Salamah bertanya: ‘ya Rasulallah, dan aku’?...Demi Allah, beliau saw. tidak menjawab; ’Ya’. Beliau saw. menjawab: ‘Engkau beroleh kebajikan’”.

Demikianlah kita mengetahui dengan jelas, hadits-hadits tersebut diatas ada kesamaan dalam menyebutkan Imam ‘Ali, Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] sebagai ahlu-bait Rasulallah saw.. Akan tetapi dalam “apakah Ummu Salamah (isteri Nabi saw) termasuk ahlu-bait Rasulallah saw”. tidak terdapat kesamaan! Ada yang akhir kalimatnya menegaskan, ‘Engkau berada dalam kebajikan’ ; ada yang menegaskan, ‘Engkau dalam kebajikan, engkau termasuk isteri-isteri Nabi saw.’ ; ada lagi yang menegaskan ‘Engkau termasuk ahliku (ahlu-baitku)’ ; ada lagi yang menegaskan ‘Engkau berada di tempatmu, engkau berada dalam kebajikan’ ; dan masih ada yang menegaskan ‘ Engkau beroleh kebajikan’. (lihat Tafsir At-Thabari jilid XXII ; 5,6,7,8 ; Tuhfatul-Ahwadzi jilid IX ;66 dan Keutamaan Keluarga Rasulallah saw. oleh K.H.Abdullah bin Nuh). }}

Perbedaan kedudukan isteri Nabi saw. Ummu Salamah ra yang diriwayatkan oleh hadits-hadits diatas masih tidak seberapa menyolok. Sebab bagaimana pun, juga isteri Nabi saw. adalah termasuk keluarga beliau saw., kendati tidak disebut ‘ahlul-bait’. Yang sangat menyolok dan mengejutkan ialah hadits semakna yang memasukkan orang lain kedalam ahlu-bait Rasulallah saw.!! Marilah kita teliti hadits berikut ini:

“Abu ‘Ammar berkata: ‘Aku duduk dirumah Watsilah bin Al-Asqa bersama be berapa orang lain yang sedang membicarakan ‘Ali ra dan mengecamnya. Ketika mereka berdiri (hendak meninggalkan tempat) Watsilah segera berkata: ‘Duduklah, kalian hendak kuberitahu tentang orang yang kalian kecam itu’ (Imam ‘Ali ra). Disaat aku sedang berada di kediaman Rasulallah saw. datanglah ‘Ali, Fathimah, Hasan dan Husain. Beliau kemudian melemparkan Kisa’nya (jenis pakaian yang lebar) kepada mereka seraya bersabda: ‘Ya Allah, mereka ini ahlu-baitku. Ya Allah, hapuskanlah kotoran dari mereka dan sucikanlah mereka sesuci-sucinya’. Aku (Watsilah) bertanya: ‘Ya Rasulallah, bagaimanakah diriku’? Beliau menjawab: ‘Dan engkau’! Watsilah bin Al-Asqa’ melanjutkan kata-katanya: ‘Demi Allah, bagiku peristiwa itu merupakan kejadian yang sangat meyakinkan’ “. (Hadits ini tercantum dalam Tafsir At-Thabari jilid XXII : 6, yaitu hadits dari Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dakkain. Ia menerimanya dari ‘Abdussalam bin Harb. ‘Abdussalam menerimanya dari Kaltsum Al-Muharibi yang menerimanya dari Abu ‘Ammar).

Dari semua hadits tersebut diatas yang semakna  tapi berbeda kalimatnya pada akhir hadits itu, dapat ditarik pengertian adanya tiga maksud yang hendak dicapai oleh para perawinya:

Pertama: Para perawi semua sepakat bahwa Imam ‘Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain [ra] adalah ahlu-bait Rasulallah saw.

Kedua: Diantara para perawi tersebut ada yang memasukkan isteri Nabi saw. kedalam ahlu-bait Rasulallah saw. dan ada yang tidak.

Ketiga: Ada pula diantara para perawi yang hendak memasukkan orang lain (pengikut Nabi saw.) kedalam pengertian ‘ahlul-bait’. (mengenai makna ahlul-bait silahkan baca halaman selanjutnya)

Periwayatan para perawi yang berbeda-beda dari peristiwa/kejadian yang sama itu menunjukkan dengan jelas, bahwa “kelainan tidak terletak pada peristiwanya, melainkan pada orang-orang yang meriwayatkannya (para perawi)”. Sadar atau tidak sadar masing-masing terpengaruh oleh suasana persilangan sikap dan pendapat akibat pertikaian politik masa lalu dan per-musuhan antar golongan diantara sesama ummat Islam. Kenyataan yang memprihatinkan itu mudah dimengerti, karena menurut riwayat pencatatan atau pengkodikasian hadits-hadits baru dimulai orang kurang lebih pada tahun 160 Hijriah, yakni setelah keruntuhan kekuasaan daulat Bani Umayyah dan pada masa pertumbuhan kekuasaan daulat ‘Abbasiyyah.

Masalah hadits merupakan masalah yang sangat pelik dan rumit. Kepelikan dan kerumitannya bukan pada hadits itu sendiri, melainkan pada penelitian tentang kebenarannya. Identitas para perawi sangat menentukan, apakah hadits yang diberitakan itu dapat dipandang benar atau tidak. Untuk meyakini kebenaran hadits-hadits Rasulallah saw., ada sebagian orang-orang dari keturunan ahlul-bait Nabi saw., dan para pengikutnya menempuh jalan yang dipandang termudah yaitu menerima dan meyakini kebenaran hadits-hadits yang diberitakan oleh orang-orang dari kalangan ahlul-bait sendiri.

Cara demikian ini dapat dimengerti, karena bagaimana pun juga orang-orang dari kalangan ahlul-bait pasti lebih mengetahui peri kehidupan Rasulallah saw., mereka ini lebih menyadari kewajiban menjaga kemuliaan martabat dan kedudukannya ditengah kaum muslimin. Mereka ini tinggal seatap dengan beliau saw., sejak kecil hingga dewasa. Mereka ini adalah orang-orang yang langsung berada dibawah asuhan Rasulallah saw., langsung ber oleh pendidikan dan pengajaran dari beliau saw. Kita tidak sukar mem- bayangkan bagaimana hasil asuhan, pendidikan dan pengajaran yang di berikan oleh seorang Sayyidul-Anbiya wal Mursalin Muhammad saw.. Mereka adalah orang-orang yang besar ketakwaannya kepada Allah swt., membentang tangan untuk beramal kebajikan sebanyak-banyaknya dan menjaga keluhuran akhlak dan budi pekerti. Ini bukan sebagai pengkultusan dan bukan pula pendewa-dewaan jika orang mengatakan, bahwa diantara para ahlu-bait Rasulallah saw. sesudah Rasulallah saw. Imam 'Ali bin Abi Thalib ra yang paling terkemuka pengetahuan tentang agama Islam. Ini tidak aneh, karena beliau berada dalam jajaran pertama diantara para ahlul-bait beliau saw.. Beliau saudara misan Rasulallah saw, putera asuhan dan anak didik Rasulallah saw. dan sebagai mantu beliau saw..

Beliau tidak pernah absen (kecuali dalam perang Tabuk, dan itu atas permintaan Rasulallah saw.) dalam semua peperangan membela agama Allah dan Rasul-Nya. Beliau tidak hanya seorang yang terluas dan terdalam pengetahuan agamanya dan pengetahuan mengenai bahasa Arab, tetapi beliau juga seorang pendekar dan panglima perang yang paling disegani dan ditakuti lawan. Wajarlah jika mereka itu dipandang sebagai sumber berita-berita hadits yang benar dan dapat dipercaya ! Demikianlah pandangan para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah saw. pada mulanya.

Dalam perkembangan zaman-zaman berikutnya, karena para pengikut dan pencinta ahlul-bait teus-menerus dimusuhi oleh hampir semua kekuatan pendukung Bani Umayyah dan Bani ‘Abbas, mereka merasa perlu menyusun kekuatan untuk mempertahankan kelestarian hidupnya. Makin keras pengejaran dan penindasan yang dialami para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw., mereka makin keras berusaha mengkonsolidasi kekuatan, baik mental maupun fisik. Untuk mengimbangi ekstremitas pihak-pihak yang membenci dan mengejar-ngejar mereka, pada akhirnya ada sebagian para pengikut dan pencinta ahlu-bait Nabi saw. yang terperosok pula kedalam ekstremitas yang sama, khususnya dalam hal mengkultuskan pemimpin-pemimpin mereka dari kalangan Ahlul-Bait Rasulallah saw.. Mereka menciptakan teori ajaran tambahan dalam agama Islam untuk membajakan semangat dan kesetiaan kepada ahlul-bait, diluar pengetahuan  Imam-imam mereka (dari ahlul-bait) yang telah wafat.

Lebih jauh lagi para pengikut dan pencinta ahlul-bait Rasulallah saw. yang ekstremitas  sama sekali tidak mau menerima penafsiran apa pun atau hadits apa pun yang diriwayatkan oleh pihak selain pihak ahlul-bait Rasulallah saw.. Demikianlah pula sebaliknya, pihak lawan pun yang ekstremitas tidak mau menerima penafsiran dan hadits apa pun yang diberitakan oleh pencinta dan pengikut ahlul bait itu. Hadits yang bersumber dari Imam ‘Ali bin Thalib ra pun kadangkala masih mereka tolak, kecuali yang diberitakan oleh ‘Abdullah bin Mas’ud ra. dan rekan-rekannya. Demikianlah sekelumit sejarah Islam mengenai ahlul-bait pada zaman Bani Umayyah dan Bani Abbassyiyah.

Lepas dari itu semua, yang sudah pasti Bani Umayyah dan  Bani ‘Abbas itu sudah punah, tapi rupa-rupanya pengaruh politiknya masih berpengaruh sampai zaman kita sekarang, karena sampai detik ini jarang sekali di kumandangkan atau dikenal merata oleh kaum muslimin hadits-hadits mengenai keturunan/nasab (Ahlul-Bait) Rasulallah saw. ini, walaupun sudah banyak dalil-dalil yang gamblang dan jelas baik dari firman Allah swt. atau hadits shohih Nabi saw. mengenai ahlul-bait dan keturunan beliau saw.

Ada sebagian dari golongan ulama yang memutar balik atau menggeser (menta’wil) makna hadits-hadits mengenai ahlul-bait beliau saw. hadits tsaqalain, Safinah dll. hanya berdasarkan pemikiran mereka sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan, bukan berdasarkan hujjah/dalil dari sunnah Rasul saw.. Ada lagi yang tidak mau menerangkan atau sengaja menyembunyikan riwayat-riwayat mengenai ke utamaan ahlul-bait dan keturunannya. Yang lebih jauh dan aneh, ada orang yang masih meragukan dan mengatakan seenaknya sendiri tanpa berdalil sunnah Rasulallah saw. bahwa keturunan Nabi saw. atau cucu Rasulallah saw. semuanya tidak ada, sudah punah dan telah terbantai semuanya pada waktu peperangan antara Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib dan pengikutnya [ra] dengan golongan Yazid bin  bin Mu’awiyyah di Kerbala. (Mengenai peperangan di Kerbala bagi orang yang ingin membaca sejarahnya lebih mudahnya silahkan baca  buku dalam bahasa Indonesia yang berjudul Husain bin Ali r.a. Pahlawan Besar dan kehidupan islam pada zamannya oleh H.M.H ALHAMID AL-HUSAINI dan tulisan beliau mengenai pribadi-pribadi ahlul-bait Rasulallah saw [imam Ali, Sayidah Fathimah, Imam Ali Zainal Abidin dan lain sebagainya] ).

Begitu juga golongan pengingkar ini mengatakan bahwa kita semua keturunan Nabi Adam as., jadi tidak ada perbedaan antara keturunan Rasulallah saw. dengan keturunan lainnya, kecuali orang yang paling bertakwa dan sebagainya. Padahal masalah kemuliaan nasab keturunan keluarga Rasulallah saw. banyak dikemukakan dalam hadits shohih. Kalau memang benar omongan golongan pengingkar ini, kita ingin bertanya; Apa kekhususan atau keistemewaan ayat Ilahi dan hadits-hadits yang akan kami kutip berikut ini dan masih banyak hadits yang tidak tercantum dihalaman ini yang diakui juga oleh ulama-ulama pakar hadits tentang kemuliaan, keutamaan Rasulallah saw, Ahlul-Bait dan keturunannya, kalau semuanya ini sama?!  Saya berlindung pada Allah swt. atas kebohongan golongan ini.

Memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw. sebagai orang-orang yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt. dalam surat Al-Hujurat : 13 berikut ini:

يَآ اَيُّهَا النَّـاسُ إنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَّ أنْثىَ وَجَعَلنَاكُمْ شُعُوبًا وَّ قَبَآئِل َلِـتَعَارَفُوْا, إنَّ أكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللهِ أتقَاكُم
   

“Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu laki-laki dan perempuan dan Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian terhadap Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu “.

Dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw. yang mengatakan : “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena taqwa”.
           
Begitu juga firman Allah Al-Hujurat : 13 dan hadits Rasulallah saw. diatas ini tidak bertentangan dengan surat Al-Ahzab : 33 yang menegaskan :         

  إنَّمَا يُرِيْدُ اللهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ اَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا                     
                       

“Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya” 

Kemuliaan yang diperoleh seorang beriman dari kebesaran taqwanya kepada Allah dan Rasul-Nya adalah kemuliaan yang bersifat umum, yakni hal ini dapat diperoleh setiap orang yang beriman dengan jalan taqwa. Lain halnya dengan kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. Mereka memperoleh kemuliaan berdasarkan kesucian yang dilimpahkan dan di karuniakan Allah swt. kepada mereka sebagai keluarga dan keturunan Rasulallah saw. Jadi kemuliaan yang ada pada mereka ini bersifat khusus, dan tidak mungkin dapat diperoleh orang lain yang bukan ahlul-bait dan bukan keturunan Rasulallah saw..

Akan tetapi itu bukan berarti bahwa keturunan Rasulallah saw. tidak diharuskan bertaqwa kepada Allah dan Rasul-Nya. Malah sebaliknya, Allah swt. berfirman dalam surat Al-Ahzab:30-31 bahwa bila mereka (ahlul-bait) berbuat maksiat akan dilipatkan dua kali dosanya dan bila mereka berbuat kebaikan akan dilipatkan dua kali pahalanya. Dengan memperbesar ketaqwaan pada Allah dan Rasul-Nya mereka ini memperoleh dua kemuliaan yaitu kemuliaan khusus dan kemuliaan umum. Sedangkan orang-orang selain mereka ini dengan ketaqwaan kepada Allah dan Rasul-Nya hanya memperoleh kemuliaan umum. Itulah yang membedakan martabat kemuliaan ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw. dengan martabat kemuliaan orang-orang selain ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw.. Ketinggian martabat yang di berikan Allah swt. kepada mereka (ahlul-bait) ini merupakan penghargaan Allah swt. kepada Rasul-Nya junjugan kita Muhammad saw..

Begitu pun juga kemuliaan para sahabat yang setia dan patuh pada Nabi saw. Allah swt. telah menyatakan pujian dan penghargaan-Nya atas kesetiaan mereka kepada Allah swt. dan Rasul-Nya serta keikhlasan mereka dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah swt. dimuka bumi. Hal ini diungkapkan dalam firman-firman Allah swt. (Aali Imran ; 110 ; Al-Baqarah ; 143 ; At Tahrim ; 8 ; Al-Fath ; 18 ; At-Taubah ; 100 ; Al-Anfal : 64 dan lain-lain).

Keturunan nabi saw. merupakan orang-orang yang memiliki fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah swt. kepada mereka melalui hubungan darah/pertalian nasab dengan manusia pilihan Allah swt. dan paling termulia Rasulallah saw. Jadi bukan pilihan atau maunya mereka sendiri untuk menjadi keturunan nabi saw. dan bukan berdasarkan fadhilah pengamalan baik mereka melainkan telah menjadi qudrat dan kehendak Ilahi sejak mula. Karena itu tidak ada alasan apapun untuk merasa iri hati,dengki terhadap keutamaan mereka. Hal inilah justru yang dipertanyakan Allah swt. dalam firman-Nya:                                   


اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلَى مَا آتَاهُمُ اللهُ مِنْ فَضْلِهِ

“..Ataukah (apakah) mereka (orang-orang yang dengki) merasa irihati (hasut) terhadap orang-orang yang telah diberi karunia oleh Allah “  (An-Nisa’ : 54)

Orang-orang yang dihasuti dan yang diberi karunia dalam ayat tersebut adalah Keturunan/Ahlul Bait Rasulallah saw. silahkan rujuk: 
Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi, jilid 1, hal.143 hadits  ke 195, 196,197,198; Manaqib Al-Imam Ali bin Abi Thalib, oleh Al-Maghazili Asy-Safi’I, hal.467 hadits ke 314 ; Yanabi’ul Mawaddah, oleh Al-Qundusi Al-Hanafi, hal.142, 328  dan 357 cet, Al-Haidariyah hal.121, 274 dan 298, cet.Istanbul ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i, hal.150 cet.Al- Muhammadiyah, hal. 91 cet. Al-Maimaniyah, Mesir ;  Nurul Abshar oleh Asy-Syablanji hal.101, cet.Al-'Utsmaniyah, hal.102 cet.As- Sa’idiyah ; Al-Ittihaf Bihubbil Asyraf, oleh Asy-Syibrawi Asy-Syafi’i, hal. 76 ; Rasyafah Ash-Shadi, oleh Abu Bakar Al-Hadrami, hal. 37 ; Al-Ghadir, oleh Al-Amini jilid 3, hal. 61 dan masih banyak lagi lainnya.
           
Juga fadhilah dzatiyyah yang dikaruniakan Allah swt. kepada para keturunan Rasulallah saw. sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah ummat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Muhammad Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari tanggung jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan ummatnya.

Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada kaum muslimin dapat diwujudkan dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw. menonjol-nonjol diri menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada kedudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syari’at. Kami rasa kemuliaan dan kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga kemuliaan martabat Rasulallah saw. dan Ahlul Bait beliau saw.

Al-Ustadz (gelar yang diberikan penduduk hadlromaut/yaman selatan untuk As-Sayid Al-’Allamah Abdullah bin Alwi Al-haddad ra.) mengatakan dalam kitab An-Nashoih: "Memuji dan menyanjung diri sendiri, membanggakan leluhur dari ahli agama dan orang-orang utama dan juga menyombongkan nasab, semua itu merupakan perbuatan tercela dan sangat buruk sekali. Banyak sekali keturunan orang mulia yang tidak punya bashiroh dan tidak tahu hakikat agama, mendapat cobaan seperti ini. Barangsiapa membanggakan nasab dan leluhurnya, seraya memandang rendah kepada orang lain, maka dia akan kehilangan berkahnya para leluhur...." (Is’adur-Rofiq juz II, hal.85).

Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan Ahlul-Bait serta menyembunyikan hadits-hadits yang berkaitan dengan kemuliaan mereka ini.

Ada lagi orang yang karena tidak senang atau dengki kepada keturunan Nabi saw. berani mengatakan dengan konkrit bahwa keturunan ini telah putus dan tidak ada sama sekali atau masih belum konkrit adanya nasab tersebut. Omongan mereka ini menjiplak omongan orang kafir Quraisy kepada Rasulallah saw. waktu putra beliau saw. yang terakhir wafat dan belum sempat memiliki keturunan. Mendengar bisikan-bisikan golongan pengingkar ini kita teringat akan peristiwa nyata pada masa-masa kelahiran agama Islam. Kisah ringkasnya seperti berikut:

“Ketika putera Rasulallah saw. yang bernama Qasim wafat dalam usia kecil, salah seorang tokoh musyrikin Quraisy bernama ‘Ash bin Wa’il bersorak-sorak gembira. Ia bersorak bahwa Rasulallah saw. tidak akan mempunyai keturunan lebih lanjut. Ulah-tingkah dan ucapan ‘Ash bin Wa’il inilah yang menjadi sebab turunnya wahyu Ilahi Surah Al-Kautsar kepada Rasulallah saw. Ayat terakhir surat Al-Kautsar (uraian singkat ayat ini dihalaman berikutnya) telah menegaskan: ‘Sungguhlah, orang yang membencimu itulah yang abtar (putus keturunan)’. Firman Allah swt. terbukti dalam kenyataan yaitu: Keturunan Rasulallah saw. berkembang-biak dimana-mana, sedangkan keturunan ‘Ash bin Wa’il putus dan hilang ditelan sejarah” ! ‘Ash bin Wa’il sudah tiada bersisa, tetapi teriakannya masih mengiang-ngiang ditelinga golongan pengingkar pembenci keturunan Rasulallah saw. tersebut. 

Bila Rasulallah saw. tidak mempunyai keturunan, tentu beliau saw. tidak menantang kaum Nasrani, Najran bermubahalah. Kisah peristiwanya terabadikan dalam Al-Qur’an surat Aali ‘Imran : 61 (baca keterangan singkat selanjutnya). Kecuali ini pun, Rasulallah saw. tidak akan diperintah Allah swt. supaya berkata kepada kaum musyrikin Quraisy: “Katakanlah (hai Muhammad) Aku tidak minta upah apa pun dari kalian kecuali kasih sayang dalam (hubungan) kekeluargaan (yakni keluarga/ahlul-bait Muhammad saw.)”. (Asy-Syura : 23). Ayat Asy-Syura ini turun untuk keluarga Rasulallah saw. yakni Imam ‘Ali, Siti Fathimah Az-Zahra, Al-Hasan dan Al-Husain [ra]. Kita bisa rujuk dalam:

Syawahidut Tanzil, oleh Al-Hakim Al-Haskani Al-Hanafi jilid 2, hal.130, hadits ke 822 s/d 828 dan hadits ke 832, 833, 834 dan 838 ; Ash-Shawa’iqul Muhriqah, oleh Ibnu Hajar Asy-Syafi’i cet.Al-Maimaniyah, Mesir hal. 101,135 dan 136, dalam cet.Al-Muhammadiyah, Mesir hal. 168 dan 225 ; Tafsir Ath-Thabari jilid 25, hal.25 cet.ke 2 Mushthafa Al-Halabi, Mesir, hal.14 dan 15 cet.Al-Maimaniyah, Mesir ; Manaqib Ali bin Abi Thalib oleh Ibnu Al-Maghazili Asy-Syafi’i hal.307 hadits ke 352 ; Dzhakhairul ‘Uqba oleh Ath-Thabari Asy-Syafi’i hal.25 dan 138 ; Kifayah Ath-Thalib oleh Al-Kanji Asy-Syafi’i hal.91,93,313 cet.Al-Haidariyah, hal.31,32,175,178 cet.Al-Ghira ; Al-Fushul Al-Muhimmah oleh Ibnu Shabagh Al-Maliki hal.11 ; Ad-Durrul Mantsur oleh As-Suyuthi jilid 6 hal.7; Al-Mustadrak Al-Hakim jilid 3 hal.172 ; Ihyaul Mayt oleh As-Suyuthi Asy-Syafi’i (catatan pinggir) Al-Ittihaf hal.110 ; Tafsir Al-Qurthubi jilid 16 hal.22 ; Tafsir Ibnu Kathir jilid 4 hal.112 ; Tafsir Fakhrur Razi jilid 27 hal.166 cet.Abdurrahman Muhammad, Mesir jilid 7 hal.405-406 ; Tafsir Al-Baidhawi jilid 4 hal.123, cet.Mushthafa Muhammad, Mesir, jilid 5 hal.53 cet.Darul Kutub, hal. 642 cet.Al’Utsmaniyah ; Tafsir An-Nasafi jilid 4, hal. 105 ; Majma’uz Zawaid jilid 7, hal.103 dan jilid 9 hal. 168 ; Fathul Bayan fi Maqashidil Qur’an oleh Shiddiq Al-Hasan Khan jilid 8 hal.372 ; Yanabi’ul Mawaddah oleh Al-Qundusi hal.106,194,261 cet.Istanbul, hal.123,229,311 cet.Al-Haidariyah ; Fathul Qadir oleh Asy-Syaukani jilid 4 hal.537 cet.kedua, jilid 4 hal.22 cet.pertama, Mesir…Dan masih banyak lagi yang tidak saya cantumkan disini.

No comments:

Post a Comment