Tuesday, September 21, 2010

Ajaran-ajaran pokok Wali Songo dan cara dakwah mereka pada masa lalu

Untuk menarik orang-orang musyrik di kepulauan Hindia Timur pada masa lampau, dakwah Islam dilakukan dengan menempuh berbagai cara. Pelaksanaanya disandarkan pada kejernihan pikiran para Da’i, keutamaan perilaku mereka, baik terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap orang lain. Kegiatan dakwah tidak dilakukan oleh badan-badan atau organisasi-organisasi, melainkan oleh perorangan atau sekelompok orang yang mengikhlaskan diri dan waktunya untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk musyrik dan belum mengerti atau belum pernah mendengar tentang Islam. Para Da’i dengan sabar, tabah dan hati-hati mengikuti keadaan dan mengindahkan tradisi yang sedang berlaku serta memperhatikan sungguh-sungguh tabiat dan jiwa orang-orang yang hendak diberi pengertian. Dengan demikian mereka berhasil baik dalam menjalankan tugas dakwah yang diwajibkan oleh agamanya. Salah satu factor utama yang menyebabkan keberhasilan mereka ialah; mereka berakhlak mulia, berbudi luhur, berbicara lembut, bersabar dan tidak menyentuh adat-istiadat setempat dimana mereka (orang-orang yang hendak di-islamkan) tumbuh dan dibesarkan.

Para Da’i memahami benar bahwa tradisi dan kebiasaan yang sudah berlaku secara turun-temurun tidak mungkin dapat dihapus dengan perdebatan atau dilawan dengan berdialog. Lembaran-lembaran buku sejarah banyak yang memberitakan penyebaran agama Islam dikepulauan Indonesia, tanah Melayu dan kawasan sekitarnya, termasuk cara-cara yang ditempuh oleh para da’i pada masa dahulu. Diantara cara-cara yang ditempuh dan kegiatan yang dicurahkan untuk berdakwah ialah menggunakan bentuk-bentuk kesenian indah yang sangat digemari penduduk. Kedalam bentuk-bentuk kesenian itu para Da’i memasukkan unsur-unsur ajaran islam dengan mengubah beberapa kata dan kalimat (dalam liriknya) dan di-isi dengan ajaran-ajaran Islam yang mudah diserap. Hingga sekarang nyanyian dan tarian masih tetap ada sebagai pusaka peninggalan para Da’i zaman dahulu. Karena para Da’i bekerja atas dorongan hati yang ikhlas dan semangat Tasawwuf yang tinggi, dengan kesabaran luar biasa mereka berpegang pada metode ‘tut wuri handayani’ yakni ‘mengikuti sambil menarik perlahan-lahan’. Dengan tekun dan tahap demi tahap mereka mengubah dan mengisi lirik nyanyian dan lagu-lagu yang digemari penduduk dengan untaian kata dan kalimat yang mengandung pengarahan akidah dan pendekatan diri kepada Allah swt serta pendidikan akhlak Islam.

Misalnya cara yang ditempuh oleh seorang waliyullah terkenal, Joko Sa’id yaitu menggunakan pagelaran ‘wayang’, suatu kesenian Jawa yang sangat diegemari penduduk pada masa itu. Beliau menggubah ceritera-ceritera pewayangan dengan di-isi prinsip-prinsip ajaran Islam secara luwes, kemudian dipagelarkan (dipentaskan) didepan khalayak ramai. Pementasan ini banyak digunakan untuk menyebarkan pengertian tentang agama Islam. Lirik nyanyian dan lagu-lagu yang biasanya digunakan untuk mengiringi tarian Srimpi yang lazim dipentaskan di istana-istana kerajaan, diubah demikian rupa menjadi hikayat yang diambil dari buku ‘Amri Hamzah’ yang mengisahkan kepahlawanan paman Nabi Muhamad saw dalam membela agama Islam , yaitu Sayiduna Hamzah bin Abdul Muthalib ra. Adapula Da’i yang bernama Sayid Ishaq bin Ibrahim bin Al-Husain menempuh cara penyebaran Islam keberbagai daerah, dengan pengobatan untuk menolong penduduk yang sakit. Ada lagi diantara para Da’i antara lain Sayid Abubakar di Philipina, yang menempuh cara dengan mendekati penguasa dan bangsawan yang berpengaruh untuk membantu mereka dalam pekerjaan mengelola pemerintahan atau kesultanan sambil berdakwah mengajak mereka masuk agama Islam. Ada lagi cara umum yang bercorak kesenianj, yang ditempuh oleh para Da’i. Diberbagai tempat yang telah direncanakan, diselenggarakan hiburan semacam ‘pesta’, di-isi dengan nyanyian dan lagu-lagu keagamaan (umpama sholawatan, mengucapkan kalimat-kalimat tauhid dan lain-lain yang serupa) dengan di-iringi dengan rebana. Pesta demikian itu dihadiri oleh banyak orang, ada yang telah masuk Islam dan ada juga yang belum. Mereka datang berduyun-duyun tertarik oleh suara rebana dan nyanyian-nyanyian. Usai pesta demikian itu orang-orang yang belum memeluk Islam makin dekat hubungannya dengan mereka yang telah memeluk Islam. 

Pada akhirnya mereka mengikuti jejak teman-temannya, menyatakan keinginan memeluk Islam. Demikianlah ceritera atau sejarah para Da’i dalam menyebarkan Islam dikepulauan Indonesia khususnya dan daerah-daerah kawasan sekitarnya pada zaman dahulu.
Kyai Haji Raden Abdullah bin Nuh –rahimahullah- mengatakan didalam bukunya Wali Songo,”bahwa sembilan orang Wali semuanya mengajarkan agama Islam secara murni, bermadzhab Syafi’i dan termasuk Ahlus Sunnah wal jama’ah”.

Ada sementara pihak yang mengatakan bahwa bahwa ajaran diantara Wali Songo itu mengawinkan atau mengasimilasikan ajaran Islam dengan seni budaya lama (Syiwa Budha) di Jawa. Jelas ini tidak mungkin, karena Wali Songo adalah para ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan diharamkan oleh Syari’at Islam.

Didalam Majalah Islam Al-Jami’ah nomer 5, tahun 1, bulan mei 1962 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono dengan judul ‘Islam menurut wejangan Wali Songo berdasarkan sumber sejarah’  menuturkan beberapa hal, antara lain: Dari sembilan orang wali itu hanya Sunan Bonang (silahkan rujuk bab Sunan Bonang) sajalah yang hingga dewasa ini dapat diketahui dengan jelas pokok-pokok ajarannya dan dapat dijadikan pegangan atau sumber rujukan. Sedangkan ajaran para Wali yang lain masih sangat samar dan belum terungkapkan. Banyak sekali yang telah ditulis orang tentang ajaran Wali Songo, tetapi belum dapat dinilai sebagai sejarah dalam arti yang yang sebenarnya. Meskipun demikian, apa yang terdapat didalam ajaran-ajaran Sunan Bonang itu sudah dapat dipastikan dan dijadikan ukuran untuk dapat diketahui corak ajaran Islam yang pertama masuk dipulau Jawa khususnya dan kepulauan Indonesia lainnya. Apabila kita menelaah dan mempelajari naskah-naskah dan mempelajari naskah-naskah Primbon wejangan Sunan Bonang, kita akan menjumpai nama-nama judul Kitab dan nama-nama tokoh sebagai sumber pemikiran Wali Songo. 

Nama-nama dan judul-judul kitab yang dimaksud ialah:
Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Al-Ghazaliy ; Talkhish Al-Minhaj karya Imam Nawawi ; Qut Al-Qulub karya Abu Thalib Al-Makky (salah satu kitab rujukan bagi kitab Ihya nya Al-Ghazaliy). Beberapa nama yang disebut dalam Primbon tersebut ialah :
Pikantaki (Daud Al-Anthakiy) ; Abu Yazid Al-Busthaniy ; Muhyiddin Ibn ‘Arabiy ; Seh (Syeikh) Samangu ‘Asarani (?) ; Abdulkadir Al-Jailaniy ; Syeikh Rudadi (?) ; Syeikh Sabti (?) ; Pandita Sujadi wa Kuwatihi (?). Tamhid Fi Bayanit-Taudih karya Abu Syukur As-Salamiy.

Fiqh, tasawwuf dan tauhid tersusun lengkap dan rapih dalam Primbon Sunan Bonan sesuai dengan ajaran akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dengan madzhab Syafi’i. Dalam primbon tersebut disamping terdapat ajakan kepada tauhid, juga terdapat seruan kepada pembacanya agar menjauhkan diri dari perbuatan syirik (menyekutukan Allah swt dengan yang lain).
Sunan Bonang juga menegaskan adanya beberapa pemikiran sesat mengenai soal ketuhanan, antara lain :
- Paham atau pemikiran yang menganggap Dzat Allah adalah kekosongan hampa semesta.
- Paham atau pemikiran yang beranggapan bahwa yang ada (maujud) adalah Allah, dan yang tidak ada (‘adam) pun Allah juga.
- Paham atau pemikiran yang menganggap asma Allah itu adalah kehendakNya dan juga DzatNya. Demikian sebaliknya.
- Paham atau pemikiran kaum Batiniyah yang antara lain mengatakan, bahwa semua makhluk adalah sifat Tuhan
- Paham atau pemikiran Kawula Gusti, yaitu yang menganggap manusia dan Tuhan adalah bersatu
- Paham atau pemikiran Wahdatul-Wujud (Pantheisme) yang mengatakan Tuhan itu identik dengan makhlukNya.

Semua paham, pemikiran dan aliran atau ajaran-ajaran seperti yang dikemukakan tadi, oleh Sunan Bonang dinyatakan sesat dan kufur. Dasar-dasar akidah yang ditegakkan dan harus dipelihara, menurut ajaran Sunan Bonang, ialah:- Allah adalah Al-Khaliq yang Maha Esa, mandiri, tidak tergantung pada apa pun juga dan Maha Kuasa. Ini merupakan asas Tauhid.- Manusia beroleh kebebasan berikhtiar, ini merupakan asas tanggung jawab insani.Pada penutup primbon tersebut Sunan Bonang menyerukan :“Hendaklah perjalanan lahir batinmu sesuai dengan jalan syari’at, mencintai dan berteladan kepada Rasulallah saw.” Dari sekelumit isi Primbon-nya Sunan Bonang itu jelas tergolong Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Dan serupa itulah ajaran para Wali Songo atau para Da’i lainnya yang tersebar di Hindia Timur dan kepulauan lainnya. Demikianlah riwayat singkat para Wali Songo dan para Da’i serta ajaran-ajaran pokoknya. 

Nama dan sejarah singkat Sembilan orang Wali (Wali Songo)
Untuk sedikit menambah riwayat-riwayat yang telah dikemukakan tadi, marilah kita ikuti berikut ini nama dan silsilah para Wali Songo (Sembilan orang Waliyullah) yang dikenal dikepulauan Jawa khususnya. Kaum muslimin di Jawa pada umumnya yakin bahwa tersebar luasnya agama Islam di Jawa adalah berkat kegigihan, keuletan dan kesabaran sejumlah ulama yang terkenal dengan sebutan: Wali Songo atau Sembilan orang Wali. Ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa jumlah wali pada masa itu hanyalah sembilan orang. Adapula yang berpendapat jumlah mereka lebih dari sembilan, namun yang sembilan orang itulah yang terkenal luas. Sebutan Wali sesungguhnya adalah singkatan dari kata Waliyullah yakni orang yang beroleh limpahan karunia dari Allah swt, karena ketinggian mutu ketakwaan mereka kepada Allah dan kemantapan mereka dalam mengabdikan seluruh hidupnya demi kebenaran Allah dan keridhoan-Nya. Para waliyullah adalah hamba-hamba ,diluar para Nabi dan Rasul, yang dicintai Allah swt. Mereka benar-benar manusia sejarah bukan manusia dongeng, sebagaimana yang dikatakan oleh sementara orang yang tidak mempercayai adanya kekeramatan (karomah) yang di limpahkan Allah swt kepada para Wali. Allah swt. telah memberikan penjelasan kepada kita tentang para Wali itu, sebagaimananya firman-Nya:
Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para Wali Allah itu tidak khawatir terhadap mereka dan tidak pula mereka itu bersedih hati. Mereka adalah orang-orang beriman dan senantiasa bertakwa” (QS Yunus:62-63). 

Allah swt menganugerahkan kehormatan atau kemuliaan ,menurut kehendakNya, kepada siapa saja dari kalangan hamba-hambaNya yang sholeh baik mereka yang dari kalangan umat Muhamad saw maupun dari kalangan para pengikut para Nabi dan Rasul sebelum beliau saw. Sebagaimana yang telah kami kemukakan pada bab 7 disitus ini ‘tentang pengertian Wali dan fatwa para ulama’ bahwa Allah swt memberi keampunan kepada pihak yang satu demi kemaslahatan pihak yang lain, memaafkan kesalahan pihak yang satu untuk kebaikan pihak yang lain dan menolong pihak yang satu untuk keselamatan yang lain. Demikian lah sebagaimana yang terdapat didalam hadits-hadits ‘Arafat (dikemukakan oleh Al-hafidh Al-Mundziri dalam At-Targhib wat Targhib bab ibadah haji jilid III hal. 323).  Bahkan ada pula hadits-hadits yang menegas kan  bahwa diantara para hamba Allah yang sholeh, ada yang justru karena kemuliaan (karomah) para waliyullah itu Allah menurunkan rizki dalam kehidupan dialam wujud. Karena mereka, Allah menurunkan air hujan, memberikan pertolongan kepada hamba-hambaNya, mencegah datangnya bencana, mendatangkan kebajikan serta menyayangi semua penghuni bumi (hadits-hadits semacam itu antara lain yang diketengahkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dan rawi-rawinya adalah para perawi hadits shohih dan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik ra dan Thabrani didalam Al-Ausath.). 

Nama sembilan orang Wali yang sangat dikenal oleh kaum muslimin dipulau Jawa ialah:1. Maulana Malik Ibrahim. 2. Sunan Ampel 3. Sunang Bonang 4. Sunan Giri. 5.Sunan Drajat. 6 Sunan Kalijaga. 7. Sunan Kudus. 8. Sunan Muria . 9. Sunan Gunung Jati. Riwayat singkat Wali Songo sebagai berikut:

Maulana Malik Ibrahim:
Beliau adalah Wali pertama dalam jajaran sembilan orang Waliyullah di Jawa. Nama lengkap dan silsilah nasabnya: Maulana Malik Ibrahim bin Barokat Zainul-‘Alam bin Jamaluddin Al-Husain (Jamaluddin Al-Akbar) bin Ahmad Syah Jalal bin ‘Abdullah bin ‘Abdul Malik bin ‘Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin ‘Ali bin ‘Alawi bin Muhamad bin ‘Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa bin Muhamad bin ‘Ali bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dan Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad Rasulallah saw. Tidak diragukan sama sekali bahwa Maulana Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ‘Alawiyyin yakni keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw.

Amat besar jasa dan pengabdian beliau kepada masyarakat dan mengeluarkan penduduk pulau Jawa yang pada zamannya masih banyak terbenam didalam kekufuran yaitu penganut agama Hindu dan Budha atau dua-duanya sekaligus Syiwa Budha. Dari penganut agama Hindu hanya golongan Wesya, Sudra dan Paria yang dapat diajak memeluk Islam. Sedangkan dari kaum Brahma dan Ksatria pada umumnya sukar menerima dakwah Islam karena agama Islam akan menyamakan kedudukan social mereka dengan rakyat biasa, yakni kaum kaum Wesya, Sudra dan Paria. Maka dari banyak dari mereka ini yang hijrah ke pulau Bali untuk mempertahankan agamanya, yang hingga sekarang dikenal dengan agama Hindu Bali. 

Ada yang mengatakan bahwa Maulana Malik Ibrahim berasal dari Persia, bahkan dikatakan juga bahwa ia nikah dengan saudara wanita Raja Cermin. Akan tetapi riwayat seperti itu tidak mempunyai dasar yang kuat. Stamford Raffles,seorang politikus Inggris, dalam bukunya ‘History of Java’ yang ditulis tahun 1817 M menegaskan bahwa Maulana Malik Maghribi (julukan Maulana Malik Ibrahim) seorang dari keturunan dari (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib yakni suami Siti Fathimah binti Muhamad saw. Mengenai negeri Cermin hingga sekarang tidak dapat dipastikan letak geografiknya. Menurut Raffles, terletak di Hindustan, sedangkan pakar sejarah yang lain mengatakan terletak dikepulauan Indonesia. Beberapa riwayat menuturkan bahwa Maulana Malik Ibrahim datang dari Gujarat, India. Menurut petunjuk yang terdapat pada batu nisan makam Maulana Malik Ibrahim, beliau wafat dalam tahun 882 H bertepatan dengan tahun 1419 M dikota Gresik, sebuah desa yang bernama Gapura (sekarang namanya jalan Malik Ibrahim).

Sunan Ampel (Raden Rahmat)
Sunan Ampel dilahirkan sekitar tahun 1381 M di Campa. Mengenai nama Campa para pakar sejarah berbeda pendapat. Menurut Encyclopaedia Van Nederlandsche Indie, Campa adalah nama sebuah negeri kecil di Kamboja. Akan tetapi Stamford Raffles mengatakan bahwa negeri Campa bukan di Kamboja, melainkan di Aceh (Sumatra) dan yang sekarang bernama Jeumpa. Pendapat Raffles tampaknya lebih mendekati kebenaran, karena Aceh dalam sejarah terkenal sebagai daerah islam pertama di Indonesia.

Sunan Ampel (Raden Rahmat), adalah saudara sepupu dengan Maulana Malik Ibrahim, di Gresik. Nama asli dan silsilahnya ialah Raden Rahmat bin Ibrahim Asmoro (Sunan Nggesik, Tuban) bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal …dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Malik Ibrahim.
Beliau menikah dengan puteri tumenggung (hampir sama dengan bupati) Tuban Arya Teja, yang bernama Nyai Ageng Manila dan dari perkawinannya ini ia beroleh empat orang anak, ialah: Puteri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makhdum Ibrahim (dijuluki Sunan Bonang), Syarifuddin (Hasyim) yang dijuluki Sunan Drajat, yang keempat puteri, sebagai isteri Sunan Kalijaga.

Sunan Ampel dalam upayanya mengembangluaskan pemeluk agama Islam di pulau Jawa menyelenggarakan pondok pesantren di Ampel, Surabaya. Disanalah ia mendidik pemuda-pemuda Muslim sebagai calon-calon da’i dan muballigh yang akan menyebar keberbagai daerah. Diantara mereka adalah: Raden Paku yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Giri ; Raden Patah (Abdul Fattah) yang kemudian menjadi sultan Bintoro Demak yang bergelar Sultan Alam Akbar Al-Fattah, kerajaan Islam yang pertama di Jawa ; Raden Makhdum Ibrahim putera Sunan Ampel sendiri, yang kemudian terkenal dengan sebutan Sunan Bonang ; Syarifuddin (Hasyim, yang juga putera Sunan Ampel sendiri) yang terkenal juga dengan sebutan Sunan Drajat ; para da’i muballigh yang pernah diutus ke Blambangan untuk mengislamkan rakyat disana ; dan para pejuang Islam lainnya. Semuanya itu adalah mantan-mantan murid gemblengan Sunan Ampel. Beliau wafat di Surabaya dan dimakamkan di Ampel, Surabaya. 

Sunan Bonang (Maulana Makhdum Ibrahim)
Beliau adalah putera Sunan Ampel dan silsilah nasabnya sekaitan dengan silsilah nasab ayahnya. Menurut riwayat beliau lahir dalam tahun 1465 M dan wafat dalam tahun 1524 M. Sunan Bonang sangat giat dan semangat tinggi menyebarkan agama Islam di Jawa Timur, terutama di Tuban dan sekitarnya. Beliau juga menyelenggarakan pendidikan agama Islam dan menempa calon-calon da’i serta muballigh yang akan bertugas menyebarkan agama Islam keseluruh pelosok pulau Jawa. Konon Sunan Bonang inilah yang menciptakan gending Dhurmo,yang menghilangkan kepercayaan tentang adanya hari-hari sial menurut ajaran Hindu dan menghapus nama dewa-dewa sakti. Sebagai penggantinya, Sunan Bonang menanamkan pengertian dan kepercayaan tentang adanya para malaikat dan para Nabi. Apa saja yang tidak bertentang an dengan ajaran dan kepercayaan Islam oleh Sunan Bonang ditempuh sebagai jalan untuk mendekatkan rakyat kepada agama Islam. Dimasa hidupnya beliau turut berperan dan membantu penyelesaian pembangunan masjid agung Demak. Ini merupakan kenyataan yang membuktikan dukungan Sunan Bonang kepada kerajaan Islam yang pertama di Demak. Menurut makalah yang ditulis oleh Drs. Wiji Saksono yang berjudul ‘Islam Menurut Wejangan Wali Songo berdasarkan Sumber Sejarah’ mengetengahkan bahwa Sunan Bonang yang bergelar Prabu Hanyakrawarti dan berkuasa didalam ‘Sesuluking Ngelmi lan Agami’ sama kedudukannya dengan seorang Mufti besar yang berwenang memecahkan masalah-masalah keagamaan (Islam) dan ilmu. Ajaran-ajaran Sunan Bonang sedikit atau banyak mewakili ajaran ayahnya Sunan Ampel dan saudaranya Sunan Drajat. Sunan Bonang juga seperguruan dengan Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati yaitu berguru kepada Maulan Ishaq. Sunan Bonang adalah guru pertama dari Sunan Kalijaga. 

Sunan Giri ( dijuluki Raden Paku)
Nama asli dan silsilah nasabnya adalah: Muhammad Ainul Yakin bin Makhdum Ishaq bin Ibrahim Asmoro bin Jamaluddin Al-Husain bin Ahmad Syah Jalal dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Beliau ini juga keturunan Rasulallah saw sebagaimana Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel dan lain-lain.
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa Sunan Giri adalah salah satu murid Sunan Ampel. Waktu Sunan Giri berguru kepada Sunan Ampel, beliau bertemu dengan Maulana Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang), putera Sunan Ampel. Beberapa lama kemudian Sunan Ampel menyuruh puteranya ini bersama Sunan Giri berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji sambil menuntut ilmu lebih dalam lagi. Sebelum berangkat menuju tanah suci mereka berdua singgah di Pasai untuk menambah bekal ilmu. Yang dimaksud ilmu dalam hal ini ialah ilmu ketuhanan menurut ajaran Tasawwuf. Pada masa itu konon banyak ulama berdatangan dari Persia dan India ke Pasai. Usai menunaikan ibadah haji dua orang muda itu pulang ke Jawa. Sunan Giri berhasil memperoleh ilmu ladunniy, sehingga gurunya di Pasai memberinya nama ‘Ainul Yakin’.

Yang menakjubkan banyak orang ialah Sunan Giri justru lebih tersohor daripada gurunya. Dari berbagai pelosok orang berdatangan untuk berguru kepadanya. Bahkan ada pula yang datang dari kepulauan Maluku. Beberapa daerah dibagian timur Indonesia seperti Madura, Lombok, Makassar dan lain-lain, bangga memperoleh ilmu dari Sunan Giri. Hingga abad ke 17 M semua perguruan agama Islam yang diselenggara kan oleh anak cucu keturunan Wali ini kendati mereka tidak disebut sebagai wali terkenal dengan nama perguruan ‘Giri’. Perguruan-perguruan tersebut banyak dikunjungi oleh anak-anak para pembesar dan tokoh-tokoh terkemuka di Maluku. Di Hitu pernah terjadi upacar penghormatan besar untuk menyambut kedatangan sepucuk surat dari sang ‘Raja Bukit’ demikianlah masyarakat di Hitu menyebut salah seorang keturunan Sunan Giri (Giri dari bahasa Sansekerta yang artinya Bukit).Sungguh benar, keturunan Sunan Giri banyak yang beroleh kekuasaan politik penting. Pengaruhnya dalam penobatan raja-raja dipulau Jawa dan sekitarnya amat besar. Sunan Giri wafat dalam tahun 1035 M dan dimakamkan dibukit Giri (Gresik). Sepeninggalnya, kegiatan menyebarkan agama Islam diteruskan oleh Sunan Dalem, Sunan Sedam margi dan Sunan Prapen. 

Sunan Drajat (Maulana Syarifuddin)
Maulana Syarifuddin terkenal dengan sebutan Sunan Drajat (di Sedayu). Ia putra dari Sunan Ampel. Silsilah nasabnya juga sama dengan silsilah ayahnya sendiri yakni Sunan Ampel, sebagai keturunan dari Rasulallah saw. Dia juga seorang da’i yang gigih dan tekun menyebarkan kebenaran agama Allah, Islam kepada rakayat. Beliau juga termasuk pendukung setia Raden Patah dan turut serta mendirikan kerajaan Islam pertama di Demak (Jawa). Tidak banyak riwayat yang menuturkan kehidupan Sunan Drajat, baik kapan dilahirkan dan kapan dia wafat. Tetapi beliau dikenal sebagai waliyullah dan orang yang berjiwa sosial. Kasih sayang dan bantuannya kepada orang-orang yang hidup serba kekurangan, orang-orang sengsara, anak-anak telantar dan yatim piatu menjadi buah bibir masyarakat luas. Kekhususan Sunan Drajat adalah ia memberikan apa saja yang di milikinya bila diminta oleh orang yang membutuhkan. Terdapat juga riwayat yang mengatakan bahwa Sunan Drajat itulah yang menciptakan tembang ‘Pangkur’. Wallahu a’lam.

Sunan Kalijaga (Raden Mas Syahid)
Nama aslinya Raden Mas Syahid (R.M.Syahid) putra Ki Tumenggung Wilatika, bupati Tuban. Tentang nasab atau silsilah Sunan Kalijaga terdapat perbedaan pendapat dikalangan pakar sejarah Wali Songo. Sebagian mengatakan dia seorang dari suku Jawa Asli. Sebagian lagi dari pakar sejarah menegaskan nama asli Sunan Kalijaga ialah Zainal Abidin dan ia putra Sunan Ampel yakni bersaudara dengan Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kudus. Jika itu benar, berarti silsilah nasabnya sama dengan ayahnya yaitu Sunan Ampel yang bersambung sampai Imam Ali bin Abi Thalib kw isteri Fathimah Az-Zahra binti Muhamad saw. Ada sementara penulis yang mengatakan bahwa dia berdarah keturunan Arab yang berpuncak kepada Sayiduna Abbas bin Abdul Mutthalib (paman Rasulalallah saw). Menurut penulis ini Sunan Kalijaga adalah anak Tumenggung Wila Tirto, gubernur Jepara, bin Ario Tejo Kusumo, gubernur Laku, bin Ario Nembi bin Lembu Suro, gubernur Surabaya, bin Tejo Tuban bin Khurames bin Abadallah bin Abbas bin Abadallah bin Ahmad bin Jamal bin Hasanuddin bin Arifin bin Ma’ruf bin Abadallah bin Muzakir bin Wakhis bin Abadallah Azhar bin Abbas bin Abdulmutthalib...bin Hasyim dan seterusnya. Tetapi pembuktian si penulis seperti itu sukar diterima kebenarannya dan nama-nama yang disebutnya pun janggal. Sunan Kalijaga kawin dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishaq dan beroleh seorang putera dan dua orang puteri, yaitu: Raden Umar Sa’id, kemudian disebut Muria, Dewi Rukayah dan Dewi Sofiah.

Sunan Kalijaga seorang waliyullah yang sangat besar toleransinya, seorang pujangga (ahli hikmah) dan seorang filosof. Penulis Belanda menyebutnya Reizende Mubalig (Muballigh Keliling). Tiap pergi untuk bertabligh selalu di-ikuti oleh beberapa orang ningrat (kaum bangsawan Jawa) dan cendekiawan. Mereka ini menaruh simpati besar kepada Sunan Kalijaga bukan karena Wali ini orang Jawa Asli, melainkan karena ia berpikir kritis, cermat dan berpandangan jauh kedepan. Dia termasuk Wali yang sangat di hormati dan disegani, Sampai zaman sekarang ini dia dikenal oleh semua lapisan masyarakat Jawa dari lapisan atas (bangsawan) sampai lapisan bawah (rakyat jelata). Beliau tidak hanya mengislamkan manusia saja, tetapi juga mahir mengislamkan (memasukkan unsur-unsur dan pandangan Islam) keberbagai cabang kebudayaan Jawa seperti seni musik (gamelan dan gending), seni drama (dalam pementasan wayang kulit) dan kesusasteraan. Dia ,meskipun bukan penggemar kesenian, menguasai dengan baik ilmu karawitan (gending-gending dan lagu Jawa termasuk teori musik gamelan). Dia memesan serancak (seperangkat) gamelan dari seorang empu terkenal. Gamelan itu diberi nama ‘Kyai Sekati’, kemudian ditempatkan di serambi masjid Demak. Media dakwah yang bercorak seni rebana dan lagu-lagunya yang berirama Arab, yang sudah mulai dikenal oleh sebagian kaum Muslimin Jawa, dibiarkan terus berlangsung dan Sultan Kalijaga menambah mediah dakwah nya dengan gamelan. Rebana dan gamelan dihidupkan bersama, terutama pada tiap tahun memperingati hari lahir Nabi Muhamad saw. Gamelan yang berada di bawah tarub (atap terbuka) didepan serambi masjid Demak dihias dengan berbagai bunga agar menarik perhatian orang banyak, dan gamelan itu ditabuh tiada henti-hentinya. Sunan Kalijaga adalah seorang ulama yang sangat besar ketakwaannya kepada Allah swt dan mengenal baik apa yang dihalalkan dan yang diharam kan oleh syari’at Islam. Mengenai kapan Sunan Kalijaga dilahirkan dan kapan wafatnya tidak diketahui dengan pasti oleh pakar sejarah Islam di Indonesia. Yang sudah pasti ialah Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu, masih termasuk Kabupaten Demak, disebelah Timur Laut kota Demak. Wallahu a’lam.

Sunan Kudus (Jakfar Shadiq)
Jakfar Shadiq atau yang terkenal dengan nama Sunan Kudus adalah putera Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan (ada yang mengatakan letaknya diutara kota Blora). Ada lagi sebagian pakar sejarah Islam di Indonesia yang mengatakan bahwa Sunan Kudus adalah putera Sunan Ampel. Jika ini benar maka nasab silsilahnya sama dengan nasab silsilah Sunan Ampel dan termasuk keturunan Rasulallah saw atau kaum Alawiyyin sama dengan tiga saudaranya Sunan Drajat, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga (?). Sunan Kudus disamping kegiatannya sebagai da’i penyebar agama Islam yang teguh berpegang pada ketentuan hukum syariat ,seperti halnya para Wali lainnya, ia pun mempunyai kedudukan resmi sebagai senopati (Panglima Perang) kerajaan Islam Demak.  Peninggalan Sunan Kudus yang paling menonjol adalah Masjid Agung di Kota Kudus. Bahkan menara yang berada didepan masjid Agung pun diberi nama Kudus. Nama Kudus diambil dari nama kota Baitul Makdis, yang oleh orang-orang Arab disebut juga dengan nama Al-Quds (bermakna Suci). Beliau diperkirakan wafat dalam tahun 1550M. 

Sunan Muria (Raden Umar Sa’id)
Nama aslinya Sunan Muria adalah Raden Umar Sa’id (ada yang menulis Raden Umar Syahid), termasuk Wali Songo yang kondang ditanah Jawa. Beliau dijuluki Sunan Muria karena ia hidup dilereng gunung Muria dan jenazahnya dimakamkan disana. Dalam riwayat disebut, Sunan Muria putera Sunan Kalijaga. Dengan demikian nasab silsilahnya ada dua versi. Versi pertama yaitu yang meriwayatkan Sunan Kalijaga orang Jawa Asli. Versi kedua meriwayatkan bahwa Sunan Kalijaga berdarah keturunan Arab (silahkan rujuk kembali riwayat Sunan Kalijaga). Sunan Muria menikah dengan puteri Sunan Ngudung yang bernama Dwei Sujinah. Dari perkawinannya beroleh seorang putera yang bernama Pangeran Santri, kemudian mendapat nama julukan Sunan Ngadilangu. Sunan Muria termasuk pendukung setia Kerajaan Islam Demak, bahkan bersama-sama Raden Patah dan lainnya, dia turut serta dalam mendirikan kerajaan tersebut dan ikut serta dalam penyempurnaan pembangunan Masjid Agung Demak. Dalam kegiatan mendakwahkan kebenarana agama Allah, Islam, ia lebih suka bergerak didesa-desa pedalaman yang letaknya jauh dari keramaian kota. Ia sendiri lebih senang tinggal didesa dan bergaul sehari-hari dengan rakyat jelata untuk ditarik masuk kedalam agama Islam, meskipun demikian dia tidak menolak siapa saja yang datang untuk menuntut agama Islam. Kawasan tempat ia berdakwah terletak dilereng gunung Muria, 18 km dari kota Kudus. Dalam mempertahankan kelestarian seni budaya Jawa ,sebagai media dakwah, dia menciptakan gending (lagu-lagu) ‘Sinom’ dan ‘Kinanti’, yang liriknya antara lain berbunyi: “Islam ageming urip, tan kena tininggala’ (Agama Islam adalah busana kehidupan, tak boleh ditinggalkan).

Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)
Sunan Gunung Jati mempunyai banyak nama antara lain Syarif Hidayatullah, Makhdum Gunung Jati dan masih banyak nama lainnya, yang paling terkenal ialah dengan nama Faletehan atau Fatahillah. Nasab silsilahnya ialah: Syarif Hidayatullah bin Abdullah (‘Umdatuddin) bin Ali Nur Alam bin Maulana Jamaluddin Al-Akbar Al-Husain bin Sayid Ahmad Syah Jalal bin Amir Abdulmalik bin Alwi bin Muhamad Shahib Marbath..dan silsilah seterusnya sekaitan dengan silsilah Maulana Malik Ibrahim. Dengan demikian Sunan Gunung Jati adalah keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw, yakni termasuk kaum Alawiyyin. Silsilah dan Nasab Sunan Gunung Jati ini dipandang absah, karena sudah dicocokkan dengan naskah yang ada di Palembang yaitu silsilah nasab Sunan Palembang dan dengan silsilah nasab yang berada di Banyuwangi. Menurut riwayat Sunan Gunung Jati datang dari Pasai (Sumatra utara) dan masa itu Pasai diduduki oleh orang-orang Portugis yang datang dari Malaka. Malaka direbut oleh Portugis pada tahun 1511 M. Sunan Gunung Jati pernah menuntut ilmu dikota Mekkah, kemudian nikah dengan adik perempuan Sultan Trenggono (Sultan Demak ke tiga). Sultan-sultan Banten adalah keturunan beliau. Pada masa kekuasaan Sultan Trenggono ,berkat kegiatan dan jasa-jasa Sunan Gunung Jati, banyak daerah Jawa Barat berhasil di Islamkan, kemudian dimasukkan kedalam wilayah kekuasaan Demak. Untuk mempertahakan keislaman daerah-daerah itu Sunan Gunung Jati tetap berada di Jawa. Pada masa itu Jawa Barat masih berada dibawah kekuasaan kerajaan Hindu. Demikian pula Banten dan Sunda Kelapa. Atas izin dan persetujuan Sultan Demak , Trenggono, berangkatlah sebuah ekspedisi Islam ke Banten dibawah pimpinan Sunan Gunung Jati. Setelah berjuang sekian lama dengan gigih dan tabah pada akhirnya Banten jatuh ketangan Muslimin dan Sunda Kelapa pun dapat direbut dari kekuasaan Pajajaran. Dalam tahun 1526 M kolonial Portugis menginjakkan kaki di Sunda Kelapa, tetapi tak lama kemudian mereka dengan kekerasan diusir oleh Sunan Gunung Jati dan para pengikutnya. Serangan Franciso De Sa pun oleh Sunan Gunung Jati dipukul mundur, kemudian mereka lari meninggalkan Sunda Kelapa kembali ke Malaka (1527 M). Demikianlah perjuangan beliau terhadap golongan kolonial Portugis yang berani mengacak-acak tanah tumpah darahnya di Pasai. Sunan Gunung Jati wafat dalam tahun 1570 M dan dimakamkan didaerah Cirebon (Jawa Barat). 

Dari semua uraian tadi yang ditulis oleh pakar sejarah baik penulis Barat maupun penulis Timur ialah bahwa yang mendakwahkan agama Islam pada umumnya orang-orang Arab atau keturunan Arab, yang datang melalui India atau negeri lain. Mereka bertebaran diberbagai kawasan di Timur dan melalui mereka inilah agama Islam tersebar. Dari semuanya itu dapat diketahui bahwa para penyebar agama Islam itu banyak terdiri dari kaum Sayid Alawiyyin dari Hadramaut. Sebagaimana diketahui bahwa para Sayid itu pada umumnya dipandang sebagai sumber pemikiran dan sumber kehidupan spiritual dari pusat-pusat agama Islam, baik yang berada dinegeri-negeri Arab, di India maupun dikawasan Timur Jauh. Sedang ada orang yang mengatakan penyebaran agama Islam yang pertama adalah dari orang-orang keturunan Cina ini adalah tidak benar!!!

Mengenai nama-nama asli mereka (bukan silsilahnya) sembilan orang wali – kecuali Maulana Malik Ibrahim- hingga sekarang masih terdapat sedikit perbedaan diantara para penulis. Hal itu dapat di maklumi karena mereka pada umumnya tidak meninggalkan pusaka-pusaka tertulis. Adapun nama-nama yang didahului dengan sebutan Sunan semuanya adalah nama-nama julukan atau gelar yang berasal dari kata Susuhunan artinya Yang Mulia. Demikian pula gelar Maulana yang bermakna Pemimpin kita. Semua nama julukan atau nama gelar tersebut diberikan oleh masyarakat muslimin di Jawa pada masa dahulu, karena ketika itu mereka belum mengenal sebutan Sayid, Syarif dan Habib yang lazim digunakan untuk menyebut nama-nama keturunan Ahlu-Bait Rasulallah saw. Sampai sekarang, setiap hari ratusan para penziarah baik yang dari Indonesia maupun dari luar negeri yang berkunjung kepusara para wali Songo tersebut.  Ditempat pemakaman mereka ini para penziarah membaca tahlil, berdoa kepada Allah swt. sambil bertawassul serta bertabaruuk kepada para wali tersebut. (baca bab Tawassul/Tabarruk disitus ini)
Insya Allah setelah membaca isi website ini, para pembaca bisa menilai sendiri jalan mana yang akan kita tempuh agar keridhoan Allah swt dan Rasul-Nya selalu mengiringi kita semua. Sebenarnya masih banyak lagi dalil yang tidak semuanya tercantumkan disini. Semoga semua yang tercantum diwebsite yang sederhana ini bisa memberi manfaat bagi diri dan keluarga kami khususnya serta semua umat muslimin umumnya. 

Semoga Allah swt dan Rasul-Nya berkenan menerima serta meridhoi sedikit kebajikan yang kami kutip didalam website ini bi haqqi (demi kebenaran) wa bi jaahi (dan demi kedudukan/kemuliaan) junjungan kita Habibullah Muhamad saw, para ahlul-bait dan keturunannya. Tidak lain tujuan dan harapan kami menulis dalam website ini agar kita semua tidak sesat-mensesatkan sesama muslimin. Sudah tentu kami sebagai manusia yang penuh kekurangan dan tidak akan luput dari kesalahan dan kekhilafan, dengan demikian kami mohon pada Allah swt untuk sudi mengampuni diri kami bila ada kesalahan dan kekhilafan dalam website ini. 

”Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami salah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir”. 

Bi Haqqi Muhammad Wa Aali Muhammad, kabulkanlah ya Allah do’a kami. 
Wa maa taufiqi illa billah, ‘alaihi tawakkaltu wa ilaihi unib.

Peranan bangsa Arab ,khususnya kaum ‘Alawiyyin, dalam penyebaran Islam di Indonesia khususnya dan negeri Timur lainnya

Beberapa sejarah baik yang ditulis oleh penulis Barat maupun penulis Timur mengatakan bahwa para pedagang Arab lah ,khususnya kaum Alawiyyin, yang menyebarkan agama Islam di kepulauan Hindia Timur (Indonesia). Sebagian dari mereka menambahkan penjelasan dengan menyebut, bahwa beberapa orang yang menyebarkan agama Islam itu tidak termasuk golongan pedagang, tetapi orang-orang yang khusus mendakwahkan agama Islam dan menyebarkannya dikalangan penduduk setempat. Diantara para pakar sejarah tersebut ialah:

- L.Van Rijck Vorsel dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Melayu ‘Riwayat Kepulauan Hindia Timur’ menyebut, bahwa orang-orang Arab sudah datang dipulau Sumatra 750 tahun lebih dulu sebelum orang-orang Belanda. Akan tetapi kedatangan orang-orang Arab untuk menyebarkan agama Islam dikepulauan itu baru terjadi dalam tahun 1292 M dan penyebaran agama tersebut dilakukan dikalangan kerajaan-kerajaan Pasai.

- Pakar sejarah asing seperti Rowland Son, Sturrock dan Frracis Dai, mengatakan bahwa semenjak abad ke 7 M, bahkan sebelumnya, orang-orang Arab telah bermukim di Hindia Barat, kemudian mereka berpencar keberbagai tempat. Namun mereka lebih mengutamakan tempat tinggal di Malabar. 

- Didalam ‘Encyclopedie Van Nederlandsche Indie’ vol.II P.P. 567 9 Doctor Snouck Hurgronje menyebut, bahwa pengaruh orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam lebih besar daripada (bangsa) yang lain. Pakar sejarah, Prof.Husain Jayadiningrat didalam majalah ‘Bahasa dan Budaya’ menunjuk kepada Encyclopedie tersebut dalam pembicaraannya mengenai Syarif Hidayatullah. 

- R.O.Winstedt, misalnya, ia mengatakan bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) itu datang dari Gujarat. Akan tetapi bersamaan dengan itu ia menunjuk kepada orang-orang Arab yang menuju Kedah, di Semenanjung Melayu, dengan maksud berniaga. Bahkan ia mengatakan juga bahwa agama Islam tersebar dikawasan tersebut pada tahun 915 M. 

- Von Ronkel dan G.E.Marrison, dua-duanya berpendapat bahwa mereka (para penyebar agama Islam ke Timur) datang dari India Selatan, tetapi dua-duanya tidak pula dapat menentukan nama tempat dari mana mereka itu datang. Bahkan Marrison mengatakan, peranan orang-orang yang datang dari Gujarat baru terjadi setelah agama Islam tersebar di Samudera, yakni Aceh. Kaum orientalis yang mengatakan demikian itu tidak memperhatikan kenyataan bahwa kaum muslimin gujarat bermadzhab Hanafi, sedang kan kaum muslimin dinegeri-negeri Timur tidak demikian (bermadzhab Syafi’i).

- Jones didalam bukunya ‘Sufisme Merupakan Bagian Sejarah di Indonesia’ berpendapat, bahwa orang-orang Arab dan lainnya memulai kunjungan mereka secara teratur ke Indonesia sejak abad ke 8 M.

- Diago De Couto, pakar sejarah berkebangsaan Portugal dapat memastikan, bahwa Aceh pada zaman dahulu sudah mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. 

- Wilbers bahkan mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari negeri Arab. Sama dengan Wilbers, Robertson juga mengatakan bahwa para penyebar agama Islam datang dari Mekkah dan daerah-daerh pantai Laut Merah.

- Hendrik Kern mengatakan, para pedagang Arablah yang menyebarkan agama Islam. Disana terdapat pedagang-pedagang muslimin Arab, dan merekalah yang menyebarkan agama Islam. Pedagang-pedagang Muslimin yang sebagian besar terdiri dari orang Arab menempati pelabuhan-pelabuhan penting di Sumatra dan pulau-pulau yang berdekatan. Mereka itulah yang menabur benih-benih agama Islam. Demikian juga yang dikatakan oleh Thomas Arnold dan sejarawan sebelumnya, Fransisco Geiter, bahwa orang-orang Arab bermukim didaerah selatan dan mengajarkan agama Islam kepada penduduk setempat. 

- Van den Berg ,seorang penulis berkebangsaan Belanda, ia menyebut, bahwa pengaruh Islam dikalangan pribumi bersumber dari orang-orang Arab yang bergelar Sayyid dan Syarif (yakni kaum Alawiyyin). Berkat upaya dan kegiatan mereka itulah agama Islam tersebar dikalangan raja-raja Hindu di Jawa dan dipulau-pulau lainnya. Meskipun ada orang-orang lainnya yang berasal dari Hadramaut, mereka tidak mempunyai pengaruh Islami. Kenyataan besarnya pengaruh kaum Sayid dan kaum Syarif kembali  kepada martabat mereka sebagai keturunan seorang Nabi dan Rasul pembawa agama Islam, yakni Muhammad saw. 

- Buku ‘Sejarah Serawak’ di Perpustakaan ‘Rafles’ di Singapura menyebutkan, bahwa Sultan Barakat adalah keturunan Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhuma. Diterangkan bahwa ia datang dari Tha’if dengan sebuah kapal perang yang sangat terkenal pada masa itu. Dijelaskan lebih jauh, orang itu bernama Barekat bin Thahir bin Ismail (terkenal dengan nama julukan ‘Al-Bashri’, bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin Isa An-Naqib bin Muhamad An-Naqib…dan seterusnya sampai kepada Al-Husain bin Ali bin Abdul Mutholib kw –red.). Kaum Syarif di Mekkah pada umumnya adalah keturunan Al-Hasan ra (bin Ali bin Abi Thalib), sedangkan Barekat adalah keturunan Al-Husain ra. Kaum Syarif di Mekkah tidak melakukan penyebaran agama ke seberang lautan. Yang melakukan kegiatan demikian adalah kaum Sayid keturunan Al-Husain ra yang bermukim di Hadramaut/Yaman Selatan. Kegiatan itu mereka lakukan terutama setelah terjadinya penyerbuan kaum Khawarij sekte Abadhiyyah terhadap Hadramaut. Kota tempat mereka bermukim adalah Bait Jabir, termasuk pusat perniaga an dinegeri itu. Mereka mengumpulkan bekal dari Marbath, kemudian diangkut dengan kafilah ke Yaman.
Dalam sejarah kaum muslimin Philipina dan dalam sejarah Sulu disebutkan, bahwa mereka berasal dari keturunan Abdullah bin Alwi bin Muhamad (penguasa Marbath) bin Ali Khali’ Qasam..dan seterusnya sampai Imam Ali bin Abi Thalib dan Fathimah Az-Zahra binti Muhamad saw. 

- Nageeb M.Saleeby didalam bukunya yang berjudul ‘Department of The Interior Ethnological Survey Publication Studies in More History Law Relegion’ (Manila Bireau of Republic Printing 1905) dalam menyebut sejarah Mindanau mengatakan antara lain:
“Sebelum kedatangan Islam tidak terdapat data sejarah yang akurat, dan tidak terdapat pula kisah atau ceritera-ceritera yang di-ingat orang. Setelah kedatangan Islam barulah tampak penyebaran ilmu (pengetahuan), peradaban dan berbagai kegiatan. Undang-undang dasar yang baru ditetapkan bagi Negara, ketentuan-ketentuan hukum tertulis ditetapkan dan silsilah serta cabang-cabang keturunan dari orang-orang besar dibaku kan, kemudian dengan hati-hati dan dijaga baik-baik oleh semua Sultan dan para bangsawan”. Silsilah tersebut dibakukan dalam sebuah catatan sejarah yang tertulis  dengan bahasa Melayu Tinggi, terjemahannya dalam bahasa Indonesia, sebagai berikut:
“Alhamdulillah, saya yakin sepenuhnya bahwa Allah menjadi saksi atas saya. Buku catatan ini berisi silsilah Rasulallah saw (yaitu mereka) yang tiba di Mandanau. Sebagaimana diketahui, Rasulallah saw mempunyai seorang putri bernama Fathimah Az-Zahra. Putri ini melahirkan dua orang syarif, Al-Hasan dan Al-Husain. Tersebut belakangan (Al-Husain) itulah yang beranak Syarif (Ali) Zainal Abidin...”dan seterusnya.
Keturunan dari Muhamad (Al-Baqir) putera Zainal Abidin (yakni mereka yang datang dari Johor) ialah Ahmad bin Abdullah bin Muhamad bin Ali bin Abdullah bin Alwi (‘Ammul Faqih) bin Muhamad (Shahib Marbath) bin Ali (Khali’ Qasam) bin Alwi bin Muhamad bin Alwi (orang yang pertama disebut ‘Alawi’ dan darinya berasal semua kaum sayid Al-Alawiyyun di Hadramaut) bin Abdullah bin Al-Muhajir bin Isa..dan seterusnya sampai kepada Muhamad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin.

- Musyawarah kaum muslimin yang berlangsung di Sidogiri pada tanggal 30-april-1962, dihadiri oleh 165 orang ulama, telah mengambil keputusan dan telah disampaikan kepada pihak-pihak resmi, bahwasanya kaum Alawiyyin berasal dari Hadramaut penganut madzhab Syafi’i adalah orang-orang yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Naskah keputusan tersebut ditanda tangani oleh Ketua Musyawarah, Haji Ahmad Khalil Nawawi dan wakil Sekretaris Abdulgani Ali. Adapun mengenai orang-orang yang menyebarkan agama Islam dinegeri-negeri Timur pada umumnya, dapat dituturkan sebagai berikut: Menurut beberapa buku sejarah Jawa dan menurut sementara kaum orientalis (ahli ketimuran) Barat, dinyatakan bahwa orang-orang Arab lah yang membawa benih-benih agama Islam kenegeri-negeri Timur. Akan tetapi beberapa orang dari kaum orientalis zaman belakangan masih tetap mengikuti pendapat Snouck Hurgronje, yang berpendapat bahwa penyebar agama Islam datang dari India. Meskipun begitu mereka sendiri berbeda pendapat mengenai tempat (di India) darimana (aslinya) para penyebar agama Islam itu datang. 

- Profesor Qaishar Makhul mengatakan, bahwa orang-orang yang datang dari Gujarat dan yang datang dari India Selatan memainkan peranan bersama-sama. Akan tetapi menonjol-nonjolkan peranan mereka dapat meniadakan peranan yang dimainkan oleh kaum Syarif, para ulama dan para pedagang Arab. Selain itu dapat juga meniadakan peranan kaum muslimin Melayu dalam menyebarkan agama Islam.
Ia mengatakan juga, tidaklah bertentangan dengan pemikiran kami sendiri jika kami mengatakan, bahwa sebagian besar penyebar agama Islam di Malaysia (Semenanjung Melayu) yang datang melalui India adalah orang-orang Arab atau orang-orang India peranakan Arab. Lebih lanjut ia mengemukakan, tidaklah mustahil bahwa sebagian penduduk setempat (kaum pribumi) memeluk agama Islam berkat kegiatan individual yang dilakukan oleh kaum Syarif berkebangsaan Arab, dari keturunan Sayiduna Ali (bin Abi Thalib) dan sejumlah kaum pedagng yang bertakwa.

- Prof.Abdul Mun’im Al-Adwiy didalam majalah ‘Al-Arab’ yang terbit di Karaci (Pakistan) mengatakan: Kita mempunyai kenangan indah tentang saudara-saudara kita orang-orang Hadramaut dan Yaman, yang telah memasukkan agama Islam ke Indonesia, Malaysia, Thailand dan negeri-negeri dikawasan Timur Jauh lainnya. Mereka telah meninggalkan berbagai pusaka yang baik dikerajaan Ashifiyyah (Emirat Haidarabad), Malabar (India bagian Selatan) dan di Kitiyawara.  Lebih lanjut ia mengatakan: Orang-orang Arab lah yang pertama masuk ke Citagong, di Teluk Benggala. Kemudian nama tersebut mereka gunakan untuk menyebut nama sungai Qani’. Oleh orang-orang Inggris nama ‘Citagong’ dirubah menjadi ‘Cinagong’ dan dalam bahasa Benggali disebut sungai Syanjim. Penduduk pulau Akyah dekat perbatasan Burma (Myanmar) hingga sekarang penduduknya masih berbicara dengan bahasa Arab diantara sesama mereka. Selain itu mereka juga hingga sekarang masih tetap menjaga baik-baik nasab dan asal-usul serta tradisi mereka. Mereka adalah keturunan orang-orang Arab Hadramaut dan Yaman. Demikian juga, penduduk dipulau-pulau Maladef, hingga sekarang masih tetap mempertahankan ke-arab-an tradisi mereka yang asli. 

- Doktor Hamka mengatakan, bahwa kaum pendatang itu adalah orang-orang Arab atau asal keturunan Arab. Di antara mereka ada yang datang dari Gujarat, dari Persia dan ada pula yang dari tanah Melayu. Pada bagian lain dari bukunya ‘Sejarah Ummat Islam’, Doktor Hamka menegaskan bahwa agama Islam datang langsung (di Indonesia) dari negeri Arab. Orang-orang Indonesia berkeyakinan kuat dan secara turun-temurun percaya, bahwa mereka menerima agama Islam dari orang-orang Arab, ada yang sebagai guru yang mendakwahkan agama dan ada pula orang-orang sayid dan syarif dari keturunan Rasulallah saw. Lebih jauh Hamka mengemukakan, tidak sedikit orang-orang keturunan Sadah (kaum sayid) dan keturunan para sahabat Nabi yang datang dari Malabar. Mereka mempunyai hubungan langsung dengan negeri-negeri Arab. Beliau mengetahui bahwa seorang guru tasawwuf, Abu Mas’ud Abdullah bin Mas’ud Al-Jawi, mengajar sebagai guru dinegeri Arab. Diantara murid-muridnya ialah seorang ulama Sufi (ahli tasawwuf) bernama Abdullah Al-Yafi’i (1300-1376M), penulis buku ‘Riyadhur-Rayyahin fi Hikayatis-Shalihin’. Disebut juga bahwa Syarif Ali Ad-Da’iyah nikah dengan puteri saudara Sultan Muhamad, Sultan Brunai. Setelah wafat, kesultanan diserahkan kepada saudaranya yang bernama Ahmad. Sebagaimana diketahui Syarif Ali adalah Sultan ke tiga di Brunai. Beliau wafat pada permulaan abad ke 15 dan kesultanannya diserahkan kepada puteranya yang bernama Sulaiman. 

Doktor Hamka mengatakan juga bahwa orang-orang keturunan Arab, khususnya kaum Sayid, beroleh kedudukan dan martabat sangat terhormat. Keturunan mereka memegang tampuk kesultanan Aceh. Sultan yang pertama ialah Sultan Badrul-‘Alam Asy-Syarif Hasyim Jamalullail (1699-1702M), kemudian Sultan Perkasa Alam Asy-Syarif Lamtsawiy Asy-Syarif Ibrahim Abriy. Hingga tahun 1946 M beberapa orang perwira yang memimpin pasukan bersenjata di Aceh terdiri dari keturunan Arab. Sultan-sultan Perlis dari keluarga Jamalullail dan Sultan yang sekarang (yakni pada masa Hamka menulis bukunya) ialah Tuanku Sayid Putera bin Almarhum Hasan Jamalullail. Sebagai pembuktian tentang ke-arab-an para penyebar agama Islam beliau mengemukakan, bahwa diantara mereka itu adalah Syeikh Islam’il dan Sayid Abduaziz yang telah berhasil mengislamkan ‘Prameswara’. Sedangkan Syeikh Abdullah Arif dan Malik Ibrahim sendiri adalah keturunan (Ali) Zainal Abidin bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib bermukim di Gresik. Demikian juga Syarif Hidayatullah adalah keturunan Muhamad Rasulallah saw. Kedatangan para sayid dari kaum Alawiyyin dari Hadramaut terjadi pada masa hidupnya Sultan Iskandar Muda di Aceh. (semua uraian yang bersumber dari Hamka ini didasarkan buku beliau ‘Sejarah Umat Islam’ jilid 4 hal.21,42,46,47 dan buku beliau ‘Tuanku Rau Antara Fakta dan Khayal’, hal. 332). Dalam buku Hamka  “Seminar Sejarah” (Islam) hal.75, mengatakan: Harus diakui bahwa kaum Sayid dan kaum Syarif (kaum Alawiyyin) sudah sejak semula telah mengambil bagian dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.

- Doctor Hamka didalam bukunya “Sejarah Ummat Islam’ jilid 4 mengatakan, didalam ceritera-ceritera rakyat yang tertulis banyak disebut tokoh-tokoh penting yang berasal dari keturunan Rasulallah saw. Raja-raja dikepulauan Maluku, misalnya, disebut bahwa mereka itu berasal dari keturunan Jakfar As-Shadiq (cicit Rasulallah saw). Disebut juga bahwa seorang Sayyid dari kaum Alawiyyin datang dibeberapa daerah Timur Indonesia untuk menyebarkan agama Islam. Banyak pula dibicarakan orang bahwa seorang Sayid lainnya yang berada dikerajaan Kutai datang dari Demak. Ceritera-ceritera seperti itu meskipun tidak ditunjang oleh data tertulis atau tidak diperkuat dengan hujjah (argumentasi), bagaimanapun juga pasti mempunyai asal kenyataan yang sebenarnya, bukan hanya sekedar ceritera yang menunjukkan betapa besar peranan orang-orang Arab dalam penyebaran agama Islam dinegeri Melayu. Peranan yang tidak dapat kita lupakan. 

- Prof.Abdulmun’im An-Namr dalam bukunya yang berjudul ‘Sejarah Islam di India’ mengatakan, bahwa pada zaman dahulu orang-orang Arab pergi ke Teluk Benggala, kenegeri Melayu dan kepulauan Indonesia. Diantara mereka terdapat sejumlah pedagang dan pelaut-pelaut Hadramaut dan lain-lain. Mereka datang kenegeri-negeri tersebut membawa agama mereka yang baru (Islam) dan bermu’amalat dengan kaum pribumi. Sumber-sumber yang terkenal dari penduduk setempat menuturkan bahwa agama Islam sampai ke Philipina dibawa oleh tujuh orang Arab bersaudara, semuanya berasal dari Semenanjung Arabia. Diantara mereka yang paling terkenal bernama Abubakar. Ia datang sekitar tahun 1450M. Kemudian ia oleh penduduk setempat diberi gelar Paduka Maha Sari Maulana Sultan Syarif Al-Hasyimi, yaitu sebagaimana tertulis pada pusaranya. Kesultanannya diwarisi secara turun-temurun. Salah satu diantara tujuh orang bersaudara tersebut diatas ialah Sayid Ali Al-Faqih, penyebar agama islam dipulau Tawai-tawai dan sekitarnya. Di Budi Datu, dipulau Julu (Jolo), terdapat pusara seorang dari mereka tertulis diatasnya ‘tahun 710H. Mungkin ia orang pertama yang datang kepulau Sulu untuk menyebarkan agama Islam dikalangan penduduk tempat.

- Prof.Husain Naimar setelah tinggal di Indonesia selama kurun waktu tertentu, menulis sebuah buku mengenai hubungan India dengan Indonesia dan penyebaran agama Islam dikalangan penduduknya. Ia berpendapat bahwa para penyebar agama Islam adalah kaum Sayid dari Alawiyyin yang datang dari India. Ia pulang ke India untuk menerbitkan bukunya dalam bahasa Inggris.

- Salim Harahap berdasarkan penuturan Dauzi menyebutkan, bahwa agama Islam masuk ke Kalimantan melalui sekelompok orang Arab dari Palembang. Sebagaimana diketahui Palembang adalah tempat hijrah kaum Alawiyyin dan tempat permukiman mereka. Sebagian besar kaum Alawiyyin yang menuju ke Indonesia pada umumnya datang di Palembang. Kemudian ada sebagian yang menetap disana dan ada pula yang berpencar dipulau-pulau lainnya. Karena itu di Palembang kita temukan keluarga-keluarga kaum Alawiyyin lebih banyak daripada yang kita temukan dikawasan-kawasan lain.

- Tabloid kebudayaan ‘Al-‘Ilm’, yang terbit di Rabat (Marokko) pernah menyebut, bahwa agama Islam masuk ke Philipina pada pertengahan kedua abad ke 14 M melalui sekelompok kaum Syarif Alawiyyin yang datang kenegeri itu. Lebih lanjut dikatakan, bahwa merekalah yang telah membawa panji dakwah islam kesana dan turut serta aktif dalam pembangunan negeri, turut mengembangkan lembaga-lembaga sosial, kebudaya an dan politik.

- Snouck Hurgronje mengatakan: Sebagian besar penyebar agama Islam datang dari negeri jauh. Pada galibnya mereka datang dari negeri Arab. Mereka digelari Sayid karena mereka dari keturunan Al-Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad saw. Snouck Hurgronje menuturkan dalam ‘Ancyclopedie van Nederlandsche Indie’ vol.IIXV P.P.576-9, bahwa orang-orang Persia dan India (Malabar dan Krumendal) mempunyai pengaruh besar dalam penyebaran agama Islam di negeri ini (Hindia Belanda). Kendati demikian tidak ada yang dapat mengingkari betapa besar pengaruh orang-orang Arab yang datang dari Mekkah, khususnya dalam kehidupan keagamaan Islam. Pengaruh mereka jauh lebih besar dari pengaruh Turki, atau India atau Bukhari. Pengaruh mereka itu  demikian Snouck Hurgronje lebih lanjut  sangat terang dalam abad-abad ke 18 dan ke 19 M yaitu pada masa-masa mulai berkobarnya semangat melawan kolonialisme, yakni ketika imprealisme Belanda berusaha memperkokoh kekuasaannya di Indonesia, dan imperialisme Inggris di Malaya. Dalam menghadapi imperialisme tumbuh rasa keagamaan sangat kuat dalam berhubungan dengan orang-orang Arab. 

- Buku ‘Sejarah Alam Melayu’ menuturkan, bahwa di Hadramaut terdapat golongan kaum Sayid dan kaum Syarif. Merekalah yang disebut ‘Kaum Alawiyyin’. Dari golongan itu banyak bermunculan orang-orang besar, datang kepulau Jawa dan tanah Melayu. Mereka beroleh kedudukan tinggi di Perak. Sebagian dari mereka berkedudukan sebagai Sultan di Perlis dan di Siak. Pada masa-masa berikutnya jumlah orang Arab pendatang semakin banyak dan menjadi lebih banyak lagi karena mereka melahirkan banyak keturunan, sehingga jumlah haji di tanah Melayu makin bertambah banyak juga.

- Di Brunai terdapat beberapa pusara kuno, antara lain sebuah pusara yang diatasnya tertulis dengan huruf-huruf Arab sebagai berikut: “Al-Alawi Al-Bulqiyah Ad-Dahriyah Sulthan Umar Ali Saifuddin”. Pada pusara yang lain tertulis: “Hijrah 836 Jumadil-Ula Dahri Ali Sulthan Syarif Ali Sulthan Brunai”. Pada pusara yang lain lagi tertulis: “Muhamad Alwi Raja Junjungan”.

- Prof. Al-Qari bin Haji Shaleh setelah membuktikan betapa lama sudah hubungan orang-orang Arab dengan negeri-negeri Timur (berdasarkan buku-buku sejarah yang ditulis oleh berbagai pihak), menyebutkan bahwa kedatangan orang-orang Arab Alawiyyin dari Hadramaut kenegeri kita (yakni ditanah Melayu) membawa agama Islam, membuat sebagian dari mereka beroleh kedudukan tinggi ditengah masyarakat. Demikianlah yang dikatakan olehnya didalam bukunya ‘Pengkajian Sejarah Islam’ hal. 315.

- Di Pariaman , menurut Doktor Hamka, dan Sumatra Barat terdapat banyak keturunan raja-raja yang mempunyai hubungan darah dengan kerajaan Pagaruyung. Mereka bergelar ‘Sultan’. Sedangkan mereka yang mempunyai hubungan darah dengan ke sultanan di Aceh bergelar ‘Bagindo’. Keturunan para Sayid bergelar ‘Sidi’. Saudara Syaaf, pemimpin redaksi surat kabar ‘Abadi’ adalah seorang dari keturunan mereka, raut mukanya masih tetap seperti orang Arab. Hamka menyebut juga bahwa seorang Sayid yang datang ke kerajaan Riau beroleh kedudukan terhormat. Ia bernama Sayid Zainal Husaini Al-Qudsi (Engku Kuning) [tidak ada silsilahnya, yakni tidak tercatat didalam daftar silsilah yang dihimpun oleh Rabithah Alawiyyah, Jakarta]. Keturunannya masih terdapat di Daik dan Lingga.

Mengenai hubungan antara pulau Jawa dan negeri-negeri Arab, menurut sumber berita sejarah dari negeri Cina, Hsin Tang Shu, sudah terjadi semenjak abad ke 7 M. Hal itu dibenarkan oleh para pengembara Arab sendiri. Tidak diragukan lagi pada masa itu pelabuhan-pelabuhan dikawasan Asia Tenggara menjadi tujuan kaum pedagang Arab. Bahkan disemua kota perniagaan terdapat pedagang-pedagang beragama Islam. Demikianlah menurut penuturan Prof.Gabril Feyrand didalam bukunya (edisi Arab) ‘Ashlun-Nassh Al-‘Arabiy’. Apa yang dikatakan olehnya itu disebut juga oleh Prof.Paul Weathley dalam bukunya ‘The Golden Khersonese’. Dua naskah dari buku Feyrand itu masih tersimpan didalam museum Inggris.

- Seorang penulis wanita bernama Nia Kurnia Solihat dalam makalahnya menyebut adanya pusara Fatimah binti Maimun yang wafat pada tanggal 7 Rajab 475 H (02-12-1083 M). Kenyataan itu menunjukkan adanya masyarakat Islam pada zaman kerajaan Penjalu di Kediri. Karenanya tidak anehlah jika dalam buku-buku ceritera rakyat banyak terdapat kata-kata Arab, seperti buku-buku yang disusun oleh Panuluh. Penulis wanita ini menyebutkan, bahwa surat kabar Indonesia ‘Berita Yuda’ tanggal 13-10-1980 memuat sebuah makalah yang ditulis oleh Suwarno, dibawah judul ‘Raja Jayabaya’. Dikatakan bahwa raja Jayabaya telah memeluk agama Islam. Pernyataan itu didasarkan pada buku-buku ceritera yang menyebut keisalaman Jayabaya ditangan seorang Arab bernama Maulana Ali Syamsu Zain. Penuli ini mengatakan lebih lanjut; Meskipun apa yang ditulis dalam buku-buku ceritera itu belum dapat dipastikan kebenarannya, namun banyak sekali ceritera-ceritera didalamnya yang benar-benar berasal dari sejarah yang menunjukkan bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada masa kerajaan Penjalu. Tidaklah sulit bagi kita untuk sampai kepada kesimpulan, bahwa agama Islam sudah masuk ke Jawa pada abad ke 12 dan ke 13 M, yakni pada masa kerajaan Singosari dan kerajaan Majapahit.

Hal itu diperkuat lagi oleh petunjuk-petunjuk sejarah yang alin. Yaitu adanya pusara-pusara di Taralaya, dekat Trawulan. Pada kuburan-kuburan itu terdapat tulisan-tulisan Arab dan ayat-ayat Al-Qur’an. Sejarah pusara-pusara itu telah diteliti dan dipelajari oleh Prof.L.C.Damais. Ternyata terdapat juga petunjuk berupa penanggalan tahun Saka, sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masa itu. Selain itu terdapat satu bukti yang tertulis dengan penanggalan Hijriah, yaitu tahun 874 H (1469 M). Yang dimakamkan dikuburan tersebut bernama Zainuddin. Tahun-tahun Saka yang tertulis diatas kuburan-kuburan di Taralay, menurut penanggalan Hijriah adalah tahun 680 H atau tahun 1281 M, yakni pada zaman raja Kartanegara, salah seorang dari raja-raja Singosari. 

- Cho Fan Cho, penulis kebangsaan Cina, mengatakan banyak pedagang asing yang menuju ke Penjalu. Mata uang emas dan perak sudah dipergunakan dipasar-pasar. 

Beberapa catatan sejarah tentang kedatangan orang-orang Arab, khususnya keturunan Nabi saw (‘Alawiyyin) termasuk Wali Songo, ke Indonesia khususnya dan negeri-negeri Timur Jauh serta peranan mereka dalam penyebaran Islam

Marilah kita ikuti ,berikut ini, sekelumit catatan sejarah tentang kedatangan orang-orang Arab , khususnya keturunan Nabi saw ke Indonesia dan peranan mereka dalam penyebaran agama Islam.Seorang penulis sejarah penduduk pulau Jawa yang bernama Haji ‘Ali bin Khairuddin, didalam bukunya ‘Keterangan-keterangan Kedatengan Bongso Arab Ing Tanah Jawi Saking Hadhramaut’ halaman 113, mengatakan antara lain: Kedatangan orang-orang Arab dikepulauan ini (Indonesia) terjadi pada akhir abad ke-7 H. Mereka datang dari India, terdiri dari sembilan orang yang oleh penduduk Jawa disebut Wali Songo yakni Sembilan Waliyullah. Mereka adalah bersaudara, yaitu: Sayid Jamaluddin Agung, Sayid Qamaruddin, Sayid Tsana’uddin, Sayid Majduddin, Sayid Muhyiddin, Sayid Zainul ‘Alam, Sayid Nurul ‘Alam, Sayid ‘Alawi dan Sayid Fadhl Sunan Lembayung. Mereka semua ini adalah putra-putra dari Ahmad bin Abdullah bin Abdulmalik  bin ‘Alawi bin Muhamad Shahib Marbath bin ‘Ali Khali’ Qasam bin ‘Alawi bin Muhamad bin ‘Alawi bin Abdullah bin Ahmad Al-Muhajir bin ‘Isa Al-Bashiri bin Muhamad An-Naqib bin ‘Ali Al-Uraidhi bin Ja’far Ash-Shadiq bin Muhamad Al-Baqir bin ‘Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Husain bin Al-Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dan Fathimah Az-Zahra ra binti Muhammad Rasulallah saw. Mereka semua adalah dzurriyatun-Nabi (keturunan Nabi saw).

Datuk ketiga sembilan orang waliyullah tersebut adalah Sayid Abdulmalik bin ‘Alawi, lahir dikota Qasam, sebuah kota di Hadramaut/Yaman Selatan, sekitar tahun 574 H. Beliau meninggalkan Hadramaut pergi ke India bersama rombongan para Sayid dari kaum ‘Alawiyyin (julukan keturunan Nabi saw yang dari Hadramaut/yaman selatan). Di India beliau bermukim di Nashr Abad. Beliau mempunyai beberapa orang anak lelaki dan perempuan, diantaranya ialah Sayid Amir Khan Abdullah bin Sayid Abdulmalik , lahir dikota Nashr Abad, ada juga yang mengatakan dia lahir disebuah desa dekat Nashr Abad. Dia anak kedua dari Sayid Abdulmalik. Sayid Amir Khan ini mempunyai anak lelaki bernama Amir Al-Mu’adzdzam Syah Maulana Ahmad.

Maulana Ahmad Syah Mu’adzdam ini mempunyai banyak anak lelaki. Sebagian dari anak lelaki itu, meninggalkan India berangkat mengembara. Ada dari mereka ini yang kenegeri Cina, Kamboja, Siam (thailand) dan ada pula yang pergi kenegeri Anam dari Mongolia Dalam (negeri Mongolia yang termasuk wilayah Cina). Diantara mereka itu yang pertama tiba di Kamboja ialah Sayid Jamaluddin Al-Husain Amir Syahansyah bin Sayid Ahmad. Di Kamboja Sayid Jamaluddin ini nikah dengan anak perempuan salah seorang Raja dinegeri itu (menurut versi lain yang nikah dengan anak Raja Kamboja ialah putera Jamaluddin Al-Akbar yaitu Ibrahim Asmoro). Dari isterinya ini dia mempunyai dua anak lelaki yang bernama Sayid Ibrahim Al-Ghazi dan Sayid Jalal Al-Mu’adzdzam Maulana Zahid Alhakim Abdulmalik. Sayid Al-Ghazi seorang pejuang besar yang berhasil mengislamkan beberapa daerah di Cina, Melayu dan Sumatra. Sedangkan saudaranya Sayid Jalal tidak diketahui riwayat hidupnya dan tidak pernah ada berita tentang nasibnya.

Maulana Sayid Al-Ghazi ini meninggalkan India pergi ke Siam, kemudian bersama ayahnya ,Sayid Jamaluddin, ia mendarat di Aceh (Sumatra Utara). Disana ia mengganti kan ayahnya dalam kegiatan menyebarkan agama Islam. Sedangkan ayahnya Sayid Jamaluddin bersama beberapa orang saudara sepupunya berangkat naik perahu menuju pulau Jawa. Mereka mendarat dikawasan pesisir Semarang, kemudian melalui jalan darat tibalah di Pajajaran. Disinilah Sayid Jamaluddin bertempat tinggal. Hal ini terjadi pada masa akhir kekuasaan raja-raja di Pajajaran, yakni beberapa tahun sebelum kekuasaan Raja Jawa di Pajajaran berpindah ketangan Majapahit. Sayid Jamaluddin lalu berangkat ke Jawa Timur, dan tibalah di Surabaya. Pada waktu itu Surabaya merupakan sebuah desa kecil, tidak banyak penduduk, dikelilingi hutan-hutan dan sungai-sungai. Pada masa itu desa tersebut dikenal dengan nama Ampel, disinilah Sayid Jamaluddin bertempat tinggal. 

Satu setengah tahun kemudian Sayid Jamaluddin ini bersama lima belas pengikutnya dan beberapa pembantu –yang semuanya terdiri dari kaum muslimin yang baru saja memeluk agama Islam– berangkat kepulau Sulawesi di Makasar (Ujung Pandang) . Dia tinggal ditanah Bugis dan tidak lama kemudian dia wafat dikota Wajo. Sedangkan tentang anak lelakinya, Sayid Al-Ghazi Maulana Ibrahim Alhakim, ia masih selalu pulang pergi dari Aceh ke Kamboja. Di Kamboja ia nikah dengan wanita Cina, yang kemudian melahirkan dua orang anak lelaki, yang bernama Maulana Ishaq dan Maulana Rahmatullah. Atas didikan ayah mereka, baik dalam hal agama maupun amal penerapannya, kedua-duanya menjadi Imam dan Alim (luas pengetahuan agamanya). Maulana Ishak kemudian berangkat seorang diri ke Malaka (Tanah Melayu), lalu tinggal di Riau dan menyebarluaskan agama Islam dikalangan penduduk. 

Sayid Maulana Ishaq ini cukup lama tinggal di Pulau Pinang. Sebagaimana yang dilaku kan oleh para ahli tasawuf disana ia mengajarkan thariqat Syathariyah. Suatu thariqat yang dihayati oleh para orangtuanya pada masa itu dan yang mereka ambil dari ajaran-ajaran datuknya, yang diberikan kepada para ulama Islam di India. Kemudian Maulana Ishaq  pindah ke Banyuwangi dengan tujuan untuk berdakwah disini. Di Banyuwangi dia memperoleh sambutan kehormatan dari penduduk, sehingga Raja Blambangan, Menakjinggo, mengundangnya datang di istananya. Blambangan terletak dikawasan pesisir utara Banyuwangi. Maulana Ishaq ini nikah dengan putri Menakjinggo, yang konon putrinya sudah memeluk agama Islam, dan ayahnya pun telah memeluk Islam, tetapi ia menyembunyikan keislamannya karena takut menghadapi serangan orang-orang Budha (Hindu). Dari perkawinannya ini Maulana Ishaq dikarunia seorang anak lelaki, yang diberi nama Sayid Muhamad ‘Ainulyakin. Sayid Muhamad oleh orang-orang Jawa ia disebut dengan nama Pangeran Prabu, sedangkan penduduk Banyuwangi menamainya Raden Paku. Dialah Sunan Giri yang mendirikan zawiyah (pondok khusus bagi para penganut aliran tasawuf) dan dialah datuk (kakek) Sunan Perapen.

Adapun Maulana Rahmatullah bin Ibrahim Alhakim yang dijuluki dengan nama Zainal Akbar Jamaluddin Alhusain, yang disebut juga dengan nama Sunan Ampel ia lahir dikota Campa, sebuah kota dinegeri Kamboja. Atas perintah ayahnya ,Maulana Ibrahim, dia datang kekepulauan Hindia Timur (Indonesia) pada tahun 751 H. Ia tiba di Jawa dan bermukim di Surabaya dan mempunyai hubungan baik dengan raja Prabu Wijaya V yang beragama Hindu Brahmana. Prabu Wijaya berhubungan intim dengan budak perempuan berkebangsaan India yang pada akhirnya budak ini hamil. Karena Prabu takut diketahui istrinya, maka budak ini dibuang ke Palembang dan meminta kepada saudaranya,Raden Damar, di Palembang agar sudi mengakui bahwa budak itu hamil dari Raden Damar ini. Anak yang lahir dari budak ini diberi nama Raden Joyowisnu. Anak ini setelah dewasa ia pergi ke Jawa dan berhubungan baik dengan Imam Rahmatullah (Sunan Ampel) dan sekaligus menjadi muridnya. Pada akhirnya Raden Joyowisnu ini memeluk agama Islam dan oleh Sunan Ampel diganti namanya dengan Abdul Fattah (dikenal dengan Raden Patah). Dia mengetahui bahwa ayahnya itulah yang mengusir dan membuang ibunya, yang sedang hamil ke Palembang. 

Raden Fattah melancarkan balas dendam untuk memerangi ayahnya sendiri yang masih beragama Hindu Brahmana. Gurunya ,Sunan Ampel, telah mencegahnya dengan keras untuk memerangi kerajaan ayahnya dan menasihatinya, bahwa agama Islam adalah agama akal yang mengutamakan kebijaksanaan, bukan agama perang atau agama kekerasan. Tetapi Abdul Fattah tetap melaksanakan peperangan dengan kerajaan ayah nya, sehingga ia dijauhi oleh gurunya karena tidak mentaati petunjuk dan nasihatnya. Dua tahun kemudian, Sunan Ampel menyaksikan sendiri ketabahan dan kemantapan Abdul Fattah dalam membela dan menegakkan agama Islam, barulah ia dibiarkan mendekatinya kembali. Raden Abdul Fattah mendirikan kesultanan Islam pertama ,terpisah dari kerajaan Majapahit, di Demak dekat Kudus, tidak jauh dari Semarang. Panji dan bendera kesultanan Demak pada masa itu berwarna dasar hitam dan bertuliskan kalimat : “Laa ilaaha illallah Muhamad Rasulallah, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali Radhina billahi Rabban wa bil Islami diinan wa bi Muhammadin Nabiyyan”.
Melihat kenyataan tersebut ayah Raden Fattah sangat gusar. Sebagai Raja Majapahit ia mengeluarkan keputusan untuk memerangi melawan kaum Muslimin. Bertahun-tahun Raden Abdul Fattah berkecimpung dalam peperangn melawan kerajaan Majapahit, sehingga ayahnya raja Prabu Wijaya bersama pasukannya meninggalkan istananya menuju kepula Bali. Di Bali ini dia mendirikan kerajaan Hindu yang baru bertempat di sebuah kota bernama Kelungkung. Sejak dahulu sampai detik ini sebagian besar penduduknya beragama Hindu.

Sedangkan anak lelaki Sunan Ampel yang bernama Maulana Ibrahim Al-Ghazi yang oleh kaum muslimin Jawa disebut dengan nama Sunan Bonang selalu menyertai Raden Abdul Fattah dalam peperangan. Setelah Maulana Ibrahim wafat ia dimakamkan di Bonang, namun kemudian oleh orang-orang Madura kuburannya dibongkar dan kerangka jenazahnya diangkut ke Madura untuk dimakamkan dipulau itu. Akan tetapi baru saja perahu yang mengangkutnya sampai kepesisir (pantai Tuban) tiba-tiba pecah. Jenazahnya dibawa kedarat dan dimakamkan kembali di Tuban, disebuah tempat terkenal dengan nama Istanah. Ia wafat tidak meninggalkan keturunan karena selama hidupnya tetap membujang, tidak pernah nikah sama sekali. Ia seorang yang gemar ber’uzlah, menjauhkan diri ditempat-tempat terpencil.

Pendapat Imam Turmudzi makna hadits Tsaqalain, Safinah

Persoalan hadits yang telah dikemukakan, yang mana Rasulallah saw menegaskan bahwa ‘ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku’ mengundang perhatian beberapa ulama untuk memper masalahkan makna ini hadits. Masing-masing mengajukan hujah dan dalil-dalil sendiri untuk memperkuat pendapatnya, dan dalam tiap diskusi perbedaan pendapat itu selalu ada. Mari kita ikuti pendapat Imam Turmudzi masalah hadits-hadits Rasulallah saw. mengenai ahlu-baitnya. Kami akan kutip pendapat Turmudzi dan langsung sanggahan dari ulama lainnya atas pendapat Imam Turmudzi ini.

Imam Turmudzi dalam kitabnya Nawadirul-Ushul menerangkan, bahwa ahlul-bait Rasulallah saw. yang dimaksud dalam hadits tersebut ialah; “Orang-orang yang meneruskan jalan hidup Rasulallah saw setelah beliau wafat.
Mereka adalah orang-orang shiddiq, orang-orang abdal (keramat) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam ‘Ali bin Abi Thalib kw dengan ucapannya: 
“Akan muncul orang-orang abdal (keramat) di Syam. Mereka berjumlah empat puluh orang. Tiap ada seorang dari mereka wafat, Allah mengganti kedudukannya dengan orang lain. Karena abdal (kekeramatan) mereka Allah menurunkan hujan, karena kekeramatan mereka Allah memenangkan mereka atas musuh-musuhnya dan karena kekeramatan mereka Allah menyelematkan penghuni bumi dari malapetaka…”. Mereka itulah –kata Imam Turmudzi– ahlul-bait Rasulallah saw yang menjadi sebab keselamatan ummat ini. Bila mereka itu lenyap, rusaklah bumi ini dan hancurlah dunia…. Selanjutnya Imam Turmudzi mengatakan:

1). Pengertian mengenai ahlul-bait tidak bisa didasarkan pada makna hadits yang berbunyi: “Manakala ahlulbaiku lenyap maka datanglah kepada umatku apa (bencana) yang dijanjikan”. Bagaimana dapat dibayangkan kalau ahlulbait sudah tidak ada lagi, tidak akan ada seorangpun dari umat Muhamad saw yang masih tinggal? Jumlah umat Muhamad jauh lebih banyak daripada ahlulbait yang dapat dihitung dan Allah swt senantiasa melindungi mereka (ummat Muhamad) dengan berkah dan rahmat-Nya. Pengertian mengenai ahlulbait juga tidak dapat didasar- kan pada hadits yang berbunyi: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebabku dan nasabku’.
2).Menurut hadits tersebut, ahlulbait Rasulallah saw ialah nasab beliau, yakni Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib. Akan tetapi mereka bukan merupakan sebab bagi keselamatan ummat Islam, sehingga orang boleh berkata: “Kalau mereka lenyap akan lenyap pula dunia ini”!
3). Dikalangan mereka pun terdapat keburukan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan lain. Diantara mereka ada yang baik (muhsin) dan ada pula yang buruk (musi’). Lalu bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu merupakan sebab bagi keselamatan penghuni bumi? Jadi jelaslah, bahwa yang dimaksud (ucapan) Rasulallah saw ialah; orang- orang yang karena mereka itu dunia ini tetap lestari. Mereka itulah lambang kehidupan dan para pembimbing manusia kejalan hidayat pada setiap zaman. Tanpa mereka tak ada kehormatan apa pun dimuka bumi dan bencana akan merajalela…

 Imam Turmudzi melanjutkan: Kalau ada yang mengatakan bahwa ke muliaan ahlulbait dan dekatnya hubungan mereka dengan Rasulallah saw itu yang membuat mereka menjadi sebab keselamatan bagi penghuni bumi, orang lain tentu dapat menjawab: ‘Kehormatan dan kemuliaan Rasulallah saw jauh lebih agung’! Dibumi ini ada sesuatu yang lebih mulia dan lebih agung dibandingkan dengan keturunan Rasulallah saw yaitu Kitabullah Al-Qur’an, walau tidak disebut dalam hadits diatas tadi. Selain itu kehormatan dan kemuliaan ada juga pada para ahli takwa.  

Dalam penjelasannya mengenai sebab-sebab yang membuat Muhamad Rasulallah saw menjadi manusia besar, mulia dan agung, Turmudzi mengatakan: ‘Kehormatan, kebesaran dan keagungan Rasulallah saw. adalah berkat kenabian dan kemuliaan yang dilimpahkan Allah swt kepada beliau’. Sebagai dalil mengenai hal itu dapat dikemukakan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah sebagai berikut:  
“Pada suatu hari Rasulallah saw mendatangi (Siti) Fathimah. Ditempat ke diaman (Siti) Fathimah terdapat Shafiyyah (bibi Rasulallah saw). Beliau kemudian bersabda: ‘Hai Bani ‘Abdu Manaf, Hai Bani ‘Abdul Mutthalib, Hai  Fathimah binti Muhamad, Hai Shafiyyah bibi Rasulallah. Dihadirat Allah aku tidak bermanfaat bagi kalian. Mintalah berapa saja dari hartaku yang kalian inginkan. Ketahuilah, bahwa orang yang terbaik bagiku pada hari kiamat ialah mereka yang bertakwa. Jika kalian hanya mengandalkan kekerabatan kalian denganku, disaat orang lain datang kepadaku membawa amal kebajikan lalu kalian datang kepadaku hanya membawa keduniaan dileher kalian. Kemudian memanggil-manggil ‘Hai Muhamad’, aku menjawab dengan memalingkan wajahku dari kalian. Kalian lalu memanggil lagi ‘Hai Muhamad’. Akupun menjawab begitu lagi. Kemudian kalian berkata: ‘Hai Muhamad, Aku ini si Fulan bin Fulan’. Aku menjawab: ‘Tentang nasab kalian aku memang kenal, tetapi tentang amal kebajikan kalian aku tidak tahu. Kalian telah meninggalkan kitabullah, karena itu kalian kembali kepada kekerabatan (yang kalian andal- kan) antara aku dan kalian’ “.

Diriwayatkan pula bahwa saat itu Rasulallah saw menegaskan: “Diantara kalian, orang-orang yang memperoleh perlindunganku bukanlah mereka yang berkata: ‘ayahku si Fulan’, tetapi diantara kalian yang memperoleh perlindung- anku ialah mereka yang bertakwa siapa pun mereka itu dan bagaimana pun keadaan mereka”.

Jawaban atas pendapat Imam Turmudzi  
Penafsiran dan pendapat Imam Turmudzi mengenai hadits diatas tentang ahlul-bait, ternyata memperoleh tanggapan dari para ulama yang lain diantaranya yaitu Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhamad, menuturkan:
Sementara jama’ah ahli hadits meriwayatkan sebuah hadits (hadits Safinah) yang diriwayatkan oleh banyak sahabat Nabi saw bahwasanya Rasulallah saw bersabda: ‘Ahlubaitku ditengah-tengah kalian ibarat bahtera Nuh. Barang- siapa menaikinya ia selamat, dan yang ketinggalan ia celaka (sumber riwayat lain mengatakan … ia tenggelam, dan sumber yang lainnya mengatakan.....ia di giring keneraka)’. 
Abu Dzar Al-Ghifari berkata: Aku mendengar Rasulallah saw bersabda: “Jadikanlah ahlubaitku bagi kalian seperti kedudukan kepala bagi tubuh dan seperti kedudukan dua mata bagi kepala’”. 

Imam Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits yang dibenarkan oleh Bukhori dan Muslim: “‘Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni bumi dari (bahaya) tenggelam (didasar laut) dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku dari perselisihan. Apabila ada kabilah Arab yang membelakangi ahlubaitku mereka akan berselisih kemudian mereka akan menjadi kelompok iblis’.

Hadits yang lain dikemukakan juga oleh jama’ah ahli hadits, yaitu bahwasanya Rasulallah saw. bersabda: “Bintang-bintang adalah keselamatan bagi penghuni langit dan ahlubaitku adalah keselamatan bagi ummatku. (Menurut sumber riwayat lain keselamatan bagi penghuni bumi). Manakala ahlubaitku lenyap (binasa) maka yang dijanjikan dalam ayat-ayat Al-Qur’an akan tiba (yaitu bencana)”. Hadits seperti itu juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal: “Apabila bintang-bintang lenyap, lenyaplah penghuni langit dan apabila ahlulbaitku lenyap, lenyaplah penghuni bumi’.

Setelah mengemukakan hadits-hadits tersebut diatas An-Nabhani kemudian mengatakan: ‘Bagaimanapun juga ahlulbait Rasulallah dan keturunan beliau saw dipermukaan bumi ini merupakan sebab atau syarat bagi keselamatan umat manusia, dan pada khususnya merupakan syarat keselamatan ummat Muhammad saw. dari adzab/siksa neraka. Yang di maksud oleh hadits itu bukan hanya khusus anggota keluarga yang sholeh saja. Sebab cirri kemuliaan yang ada pada unsur keturunan beliau saw sama sekali tidak tergantung pada sifat-sifat mereka’. 

Sebagai dalil mengenai itu An-Nabhani menunjuk kepada pernyataan Ash-Shabban didalam kitabnya Is’afur Raghibin, yang mengatakan bahwa pengerti an tersebut diatas diperoleh dari isyarat yang terkandung dalam surat Al-Anfal: 33 : ‘Dan Allah sekali-kali tidak akan menyiksa mereka (orang-orang durhaka) sedang engkau berada ditengah-tengah mereka’. Sekali pun ayat itu ditujukan kepada Rasulallah saw, namun ahlulbait dan keturunan beliau dapat didudukkan pada tempat beliau, karena mereka itu berasal dari beliau dan beliau pun berasal atau senasab dengan mereka, sebagaimana yang di riwayatkan oleh beberapa hadits. Kemudian An-Nabhani mengetengahkan sebuah hadits bahwa Rasulallah saw menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy, dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlulbaitku..(riwayat lain mengatakan bukan bencana [halak] melainkan kepunahan [fana] dan bukan pula ahlulbaitku melainkan Bani Hasyim )’.

Para ahli syarah ilmu hadits, termasuk Al-manawi dan lain-lain menjelaskan makna hadits tersebut sebagai berikut: ‘Bencana yang menimpa mereka merupakan pertanda akan datangnya hari kiamat, sebab hari kiamat akan terjadi akibat perbuatan manusia-manusia jahat, sedangkan para keluarga keturunan Rasulallah saw adalah (keturunan) orang-orang baik’. 
Menanggapi penjelasan Al-Manawi tersebut, An-Nabhani mengatakan: ‘Rasanya penjelasan Al-manawi itu dapat dijadikan tafsir bagi hadits tersebut diatas, bahkan lebih baik daripada penafsiran kami. Dengan demikian maka teranglah bahwa penafsiran Turmudzi tidak dapat diterima, yaitu penafsiran yang mengartikan dzurriyatu (keturunan) Rasulallah saw dengan abdal (orang-orang keramat) sebagaimana yang terdapat didalam hadits dari imam ‘Ali bin Abi Thalib ra’.

An-Nabhani menyanggah pernyataan Imam Turmudzi, ‘Bagaimana bisa dibayangkan bahwa dengan lenyapnya ahlulbait dari muka bumi ini maka tidak akan ada lagi seorangpun dari ummat Muhammad yang tinggal? Padahal jumlah ummat Muhamad jauh lebih banyak dan Allah selalu melindungi mereka dengan berkah dan rahmat-Nya’ ! 
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada halangan dan tidak ada salahnya jika orang membayangkan hal sedemikian itu. Lebih-lebih karena Rasulallah saw sendiri telah menegaskan: ‘Orang-orang pertama yang mengalami bencana adalah Quraisy dan orang-orang Quraisy yang pertama mengalami bencana adalah ahlul-baitku’. Hadits ini merupakan salah satu petunjuk tentang rahmat yang di limpahkan Allah swt kepada keluarga dan keturunan Rasulallah saw’.

An-Nabhani menyanggah penafsiran Imam Turmudzi tentang hadits yang mengatakan: ‘Semua sebab dan nasab akan terputus kecuali sebab dan nasabku’. An-Nabhani berkata: ‘Kata putus (dalam hadits ini) tidak berarti kepunahan atau kebinasaan keturunan Rasulallah saw. Itu hanya dikhususkan pada saat terjadinya hari kiamat, sebagaimana yang dijelaskan oleh hadits-hadits shohih. Kata putus juga berarti nasab (silsilah) tidak bermanfaat, sebagaimana ditegaskan Allah swt dalam surat Al-Mu’minun:101: ‘Maka tiada lagi hubungan nasab diantara mereka pada hari itu’. Hanya Rasulallah saw sajalah yang memperoleh pengecualian (kekhususan) dalam hal sebab (melalui pernikahan) dan dalam hal nasab (melalui keturunan). Bagi beliau saw kemanfaatan sebab dan nasab tetap berkesinambungan baik di dunia maupun diakhirat. Hal itu diperkuat (dalam hadits lainnya) oleh Rasulallah saw yang diucapkan dari atas mimbar: ‘Mengapa sampai ada orang-orang yang mengatakan, bahwa kekerabatan Rasulallah saw tidak bermanfaat  pada hari kiamat? Ya (pasti)..kekerabatanku berksinambungan didunia dan akhirat’. 

Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Bahwa Bani Hasyim dan Bani ‘Abdul Mutthalib bukan merupakan syarat bagi keselamatan ummat Muhamad saw dan bukan pula merupakan orang-orang yang akan mengakibatkan lenyapnya dunia bila mereka lenyap’. 
An-Nabhani menjawab: ‘Yang diartikan mereka itu syarat bagi keselamatan umat ini, bahkan penghuni bumi ini, ialah bahwa dengan masih adanya mereka didunia berarti saat kepunahan dunia ini belum tiba. Bila mereka  telah punah, maka penghuni bumi ini akan menyaksikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam Al-Qur’an tentang tibanya hari kiamat dan kepunahan dunia ini’.

Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Diantara mereka (keturunan Rasulallah saw) juga terdapat kerusakan (fasad) seperti yang terdapat didalam golongan-golongan dan ada pula yang berlaku buruk. Jadi, bagaimana dapat dikatakan bahwa mereka itu syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ?’.
An-Nabhani menjawab: ‘Mereka (keturunan Rasulallah saw) menjadi syarat bagi keselamatan ummat ini dan penghuni bumi ini bukan karena amal kebajikan mereka, melainkan karena mereka itu adalah unsur suci kenabian yaitu suatu anugerah yang dikhususkan Allah bagi mereka sejak asal. Mereka dianugerahi keistemewaan itu ialah Rahmat Allah yang dilimpahkan kepada mereka sebagai anggota-anggota ahlulbait Rasulallah saw. Ditengah-tengah mereka Allah menurunkan wahyu-Nya. Dalam hal-hal seperti itu mereka tidak mungkin dapat disamakan dengan orang lain (selain anggota ahlulbait)’.  

Terhadap uraian Imam Turmudzi yang mengatakan: ‘Dibumi ini ada yang lebih mulia daripada keturunan Rasulallah saw yaitu Al-Qur’an, sekali pun hal itu tidak disebut dalam hadits yang bersangkutan’. 
An-Nabhani menjawab: ‘Tidak ada keharusan bagi Rasulallah saw untuk menyebut didalam sebuah hadits (tentang) kemuliaan anak cucu keturunan beliau bersama-sama dengan kemuliaan Al-Qur’an, walau pun jelas bahwa kemuliaan Kitabullah Al-Qur’an jauh lebih besar daripada kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Walaupun hal itu bukan merupakan keharusan, namun beliau menyebut kedua-duanya itu dalam hadits Tsaqalain (lihat kalimat haditsnya pada halaman sebelumnya). Lagi pula diantara ahlulbait Rasulallah saw tidak ada seorang pun yang mengaku dirinya lebih mulia atau sejajar dengan Kitabullah, dan mereka pun tidak beranggapan bahwa kemuliaan Kitabullah itu disebabkan adanya keistemewaan yang ada pada diri mereka (ahlulbait)’. 

Kitabullah menjelang hari kiamat pun akan diangkat. Ibnu Mas’ud ra mengatakan: “Bacalah Al-Qur’an sebelum diangkat! Hari kiamat akan terjadi dekat sebelum Al-Qur’an diangkat’! Seorang sahabat bertanya: ‘Hai Abu Abdur- Rahman (panggilan Ibnu Mas’ud), bagaimanakah arti Kitabullah akan diangkat, padahal itu telah menetap didalam dada dan dilembaran-lembaran mushaf kita’? Ibnu Mas’ud menjawab: ‘Kitabullah memang tetap didalam dada, tetapi tidak di-ingat dan dibaca orang’ “.Tidak diragukan lagi bahwa Ibnu Mas’ud tidak berkata menurut pendapatnya sendiri, karena persoalan itu berada diluar pikiran orang. Dari keterangannya itu jelaslah bahwa Kitabullah menjadi syarat bagi keselamatan ummat manusia. Selama Kitabullah masih berada ditengah-tengah ummat manusia, dunia ini tidak akan dimusnahkan Allah. Mengenai keturunan suci Rasulallah saw tidak boleh diberi penilaian lebih dari apa yang telah kami terangkan.

Mengenai penegasan Imam Turmudzi bahwa ‘kemuliaan hanya ada pada para ahli taqwa’ berdasarkan dalil sebuah hadits yang meriwayatkan kedatangan Rasulallah saw dikediaman (Siti) Fathimah ra disaat Shafiyyah (bibi beliau) berada ditempat itu, kemudian Rasulallah saw bersabda: “Hai Bani ‘Abdu- Manaf, hai Bani ‘Abdul Mutthalib, hai Fathimah binti Muhammad, hai Shofiyyah…....dan seterusnya (baca hadits terdahulu)”. 

An-Nabhani memberi tanggapan atas penegasan Imam Turmudzi ini, sebagai berikut: Mengenai soal itu Al-Muhib Ath-Thabrani telah memberikan jawaban meyakinkan, yang kemudian dikutip oleh Al-Manawi dalam kitab Al-Kabir dan oleh Ash-Shabban dalam kitab Is’afur-Raghibin. Jawaban tersebut mengatakan: “Benarlah bahwa Rasulallah saw tidak mempunyai apa-apa yang (bisa) mendatangkan manfaat dan madharat (yang telah ditimpakan oleh Allah swt) bagi orang lain, hanya Allah sajalah yang memiliki hal itu. Namun, dengan kekuasaan-Nya Allah membuat Rasul-Nya bermanfaat bagi kaum kerabatnya, bahkan bagi semua ummatnya, berupa syafa’at khusus dan umum. Beliau saw tidak mempunyai suatu apa pun selain yang dikaruniakan Allah kepadanya, yaitu seperti yang ditunjukkan oleh sebuah hadits Al-Bukhori mengenai sabda beliau: ‘Kalian –yang pria maupun yang wanita– mempunyai hubungan silaturrohmi (denganku), yang akan kusambung hubungannya..’. 

Demikian pula makna ucapan Rasulallah saw : ‘Dihadirat Allah aku tidak berguna apa pun bagi kalian’. Maknanya (hadits itu) ialah: ‘Kalau hanya diriku sendiri tanpa anugerah syafa’at dan ampunan yang dilimpahkan Allah kepada-ku, aku tidak dapat memberikan manfaat apapun kepada kalian‘. Rasulallah saw  menyatakan demikian itu untuk memperingatkan mereka agar banyak berbuat kebajikan, dan agar mereka memperoleh rahmat Allah karena kebesaran takwanya masing-masing”.  

Ash-Shabban mengatakan: “Konon hadits tersebut diatas diucapkan oleh Rasulallah saw sebelum beliau diberitahu Allah mengenai manfaatnya bernasab kepada beliau. Akan tetapi tampaknya bahasa Arab kurang membantu At-Turmudzi dalam menafsirkan hadits-hadits tentang ahlulbait. Adakah orang yang mengartikan ahlulbait dengan orang-orang keramat (abdal)? Demi Allah tidak ada! Tidak ada seorang pun yang mendengar kata ahlulbaitku dari Rasulallah saw lalu ia memahaminya dengan makna selain ahlulbait yang bernasab kepada beliau saw.Memang hanya itu sajalah makna ahlul baitku dalam bahasa Arab, bahasa beliau saw sendiri! Mengenai orang-orang keramat, kemanfaatan mereka bagi kita, atau mengenai ketinggian derajat mereka dan dekatnya mereka itu dengan Allah dan Rasul-Nya, tak ada seorang Muslim pun yang meragukannya. Namun orang-orang keramat itu sendiri tentu merasa tidak senang jika diberi perhiasan yang diambilkan dari keluarga atau dari keturunan orang yang paling mereka cintai, yaitu Rasulallah saw.

Saya yakin –demikian kata Ash-Shabban lebih jauh– bahwa Imam Al- Hakim At-Turmudzi sendiri termasuk salah seorang keramat terkemuka. Karena itu saya berani memastikan bahwa uraiannya (mengenai ahlulbait) yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:
Pertama; –dan ini yang paling besar kemungkinannya– tulisan tersebut dipalsu- kan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlulbait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain….

Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan (sampai-sampai mengkultuskan) ahlulbait Rasulallah saw, sehingga mereka sesat karena tidak mau mempercayai kejujuran para sahabat Nabi saw terutama Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. dan ‘Umar Ibnul Khattab ra. Dengan uraiannya itu mungkin Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus-rumus kalimat yang dipergunakan olehnya. Kecaman itu dituangkan olehnya dalam uraian mengenai ahlulbait, tetapi bersamaan dengan itu ia tetap mencintai Ahlulbait dan memberikan penilaian yang baik serta tetap mengakui kemuliaan dan keistemewaan mereka (ahlul-bait)”. Demikianlah jawaban An-Nabhani tentang penafsiran At-Turmudzi mengenai Ahlulbait/ keturunan Rasulallah saw.

Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiyyah memberi tanggapan atas penafsiran Imam Turmudzi tentang makna hadits tsaqalain sebagai berikut:  “Dua kalimat hadits tsaqalain yang menyatakan; ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh, dan sesuatu yang jika kalian berpegang teguh kepadanya kalian tidak akan sesat’, tidak hanya berlaku bagi para Imam atau orang-orang terkemuka dari keluarga keturunan Rasulallah saw saja, melainkan berlaku juga bagi semua orang yang berasal dari eluarga keturunan beliau saw, baik yang awam mau pun yang khawash, yang menjadi imam maupun yang tidak. Pernyataan Rasulallah saw yang menegaskan; ‘Dua-duanya tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh’ tidak mengandung makna, bahwa mereka (keluarga Nabi saw) itu harus sanggup melaksanakan semua ketentuan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah, sehingga Turmudzi mengatakan, bahwa diantara mereka itu ada orang-orang berbuat buruk atau orang yang amalan baiknya bercampur-aduk dengan amalan buruknya..’ dan seterusnya. Pernyataan Rasulallah saw itu adalah dorongan supaya orang menghormati mereka, dan merupakan berita menggembirakan bahwa mereka itu tidak akan meninggalkan agama Islam (wafat dalam kekafiran) hingga saat mereka memasuki surga (haudh) dengan selamat. Itulah makna pernyataan Rasulallah saw bahwa mereka itu tidak akan berpisah dari Kitabullah hingga saat mereka kembali kepada beliau di surga kelak… 

Sebagaimana telah saya (Ibnu Taimiyah) katakan, makna ‘noda’ atau ‘kotoran’ (ar-rijsa) dalam ayat (Al-Ahzab:33) tersebut diatas, mencakup segala macam dosa dan kesalahan lainnya, dan yang paling buruk ialah ‘kufur’ (mati dalam kekafiran). Orang-orang dari keluarga keturunan Rasulallah saw adalah orang-orang yang telah disucikan langsung oleh Allah swt, dalam hal keteguhan berpegang pada agama Islam mereka itu tidak akan goyah atau tergelincir.. (tidak sampai wafat dalam kekafiran). Mungkin orang ingin berkata kepada kami: ‘Dalil itu tidak dapat diterima oleh Turmudzi, karena ia berpendapat bahwa surat Al-Ahzab:33 ditujukan khusus kepada para isteri Rasulallah saw… Kami menjawab: Benar, sekali pun ia berpendapat seperti itu, namun telah nyata terdapat pembuktian kuat, bahwasanya Rasulallah saw pernah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– kemudian beliau saw membacakan surat Al-Ahzab:33…(ditambah dalil kuat lainnya adalah hadits Al-Kisa--pen.).
Turmudzi sendiri dalam penjelasannya mengatakan, bahwa ‘keturunan mereka (ahlul-bait) memang termasuk dalam lingkungan ahlul-bait, karena itu mereka adalah orang-orang shafwah (suci)’. Dikatakan juga olehnya: ‘ Hal itu dilakukan oleh Rasulallah saw setelah ayat 33 S. Al-Ahzab turun, karena beliau saw ingin memasukkan mereka kedalam makna ayat tersebut’.

Dengan keterangan seperti ini berarti Turmudzi sendiri yakin bahwa Rasulallah saw pernah memanggil Ali bin Abi Thalib, (Siti) Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain –radhiyallahu ‘anhum– dan mereka telah memenuhi panggilan beliau itu dan mendengarkan beliau saw membacakan ayat tersebut didepan mereka. Dengan demikian jelaslah, bahwa mereka termasuk dalam makna ayat tersebut. Jadi, pada hakikatnya keterangan Turmudzi itu sama dengan pendapat para ulama yang lain (yaitu orang lima ini termasuk yang dimaksud dalam surat Al-Ahzab:33--pen.). Mengenai tidak akan terpisahnya mereka (keluarga keturunan Rasulallah saw) dari Kitabullah, bermakna bahwa mereka itu tidak akan menyeleweng (keluar) dari agama Islam hingga saat mereka kembali kepada Rasulallah saw disurga. Makna tersebut diperkuat dalilnya oleh Firman Allah dalam surat Adh-Dhuha:5: ‘Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu sehingga engkau (Muhamad) menjadi puas”.

Al-Qurthubi dalam tafsirnya yang dikutip dari Ibnu ‘Abbas ra, mengatakan: ‘Kepuasan Muhamad Rasulallah saw ialah karena tidak ada seorangpun dari ahlubaitnya yang akan masuk neraka’. Dalil-dalil hadits mengenai hal itu banyak sekali, antara lain sabda Rasulallah saw: “Fathimah telah sungguh-sungguh menjaga kesucian dirinya. Karena itu ia dan keturunannya dihindarkan Allah dari siksa neraka” (Al-Hakim menegaskan bahwa hadits ini shohih). Dalil hadits lainnya berasal dari ‘Imran bin Hashin ra. Ia mengatakan bahwa Rasulallah saw pernah bersabda: “Aku telah mohon kepada Tuhanku supaya tidak memasukkan seorang pun dari keluargaku (ahlubaitku) ke dalam neraka, dan Dia mengabulkan permohonanku “. 

Penafsiran Imam Turmudzi bahwa ‘hadits tsaqalain hanya berlaku bagi para Imam dan orang-orang terkemuka dari golongan Ahlulbait’, Ibnu Taimiyyah mengetengahkan riwayat hadits yang berasal dari Zaid bin Arqam, yaitu: “…Kutinggalkan kepada kalian dua bekal. Yang pertama ialah Kitabullah, didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang….. dan ahlu-baitku...sampai akhir hadits (silahkan rujuk kembali haditsnya)”.  
Dari hadits ini kita dapat mengetahui bahwa Rasulallah saw pertama-pertama mengkhususkan pesan beliau supaya kaum muslimin berpegang teguh pada petunjuk dan hidayat Kitabullah Al-Qur’anul-Karim. Hikmah mengenai hal itu beliau menyebutnya dengan kata-kata ‘didalamnya terdapat petunjuk dan cahaya terang’. Setelah itu barulah beliau menyebut ahlul-bait (keluarga,  keturunan) dengan ucapan “kalian kuingatkan kepada Allah mengenai ahlu-baitku”. Pesan beliau itu diucapkan dua kali untuk lebih menekankan perlunya memelihara hak-hak mereka sebagai keluarga keturunan beliau saw. Dalam pesan beliau itu samasekali tidak terdapat pengistemewa an yang seseorang daripada yang lain diantara semua keluarga ahlul-bait. Jelaslah kiranya, bahwa yang dimaksud dengan keluarga keturunan Rasulallah saw atau ahlul-bait ialah mereka semua yang diharamkan menerima shodaqah atau zakat, sebagaimana yang dikatakan oleh Zaid bin Arqam dalam hadits Tsaqalain. Oleh Rasulallah saw mereka itu disebut secara ber-iringan dengan penyebutan Kitabullah. Sudah pasti itu bermaksud menghormati kedudukan mereka, dan untuk menekankan wasiat beliau agar hak-hak mereka dipelihara sebaik-baiknya oleh kaum muslimin. 

Ibnu Taimiyyah merasa aneh dan heran mengenai uraian imam Turmudzi yaitu kalimat yang berbunyi: ‘Apabila orang-orang yang tidak seunsur atau seasal keturunan dengan mereka (keluarga keturunan ahlulbait) benar-benar menguasai ilmu-ilmu agama secara mendalam, maka kita pun wajib berteladan kepada mereka, sama seperti kita berteladan kepada orang-orang (imam-imam) terkemuka yang berasal keturunan Rasulallah saw’. 

Perumusan Turmudzi kalimat seperti itu oleh Ibnu Taimiyyah dianggap menarik garis persamaan antara keluarga keturunan Rasulallah saw dan orang-orang dari unsur lain yang bukan keluarga keturunan Rasulallah saw. Jadi, tidak ada keistemewaan apapun pada orang-orang keturunan Rasulallah saw. Yang dipandang oleh Turmudzi sebagai ciri istemewa ialah ‘kedalaman ilmu’ yang ada pada orang-orang keluarga keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian maka yang diartikan ‘itrah’ dan ‘ahlul-bait’ (dalam hadits Nabi saw) menurut Turmudzi bukan lain hanyalah para ulama, para imam dan para ahli fiqih dikalangan ummah Islam! Benarkah itu yang dimaksud oleh Rasulallah? Tentu Tidak! Yang dimaksud oleh Rasulallah saw ialah keluarga keturunan dan kaum kerabat, tidak pandang apakah mereka itu Imam, ulama atau bukan. Mengenai para ahli fiqih, para ulama dan para imam, mereka itu memang teladan bagi ummat Islam dan merupakan pelita yang menerangi kegelapan. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa mereka itu keluarga keturunan Rasulallah saw. Para ulama, para ahli fiqih dan para Imam itu justru orang-orang yang paling pertama berkewajiban mengindahkan wasiat Nabi saw yakni secara umum mereka itu wajib menghormati kedudukan dan memelihara hak-hak keluarga keturunan Rasulallah saw. dengan sebaik-baik nya”. Demikianlah sanggahan Ibnu Taimiyyah atas pendapat Imam Turmudzi. 

Dengan adanya keterangan tadi, jelas bagi kita bahwa para ulama antara lain Yusuf bin Ismail An-Nabhani dalam kitabnya Ashsyaraful Muabbad li Aal Muhammad  dan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya Al-‘Aqidatul-Washiy menyanggah pendapat Imam Turmudzi tersebut diatas yang membatasi makna yang dimaksud keluarga keturunan Rasulallah saw, antara lain yang tercantum dalam hadits Tsaqalain dan hadits Safinah. Apa yang dikatakan Imam Turmudzi dalam Nawadirul-Ushul itu perlu dihargai. Tetapi sayangnya beliau ini tidak mengemukakan hujjah atau dalil bahwa yang dimaksud oleh Rasulallah saw dalam hadits Tsaqalain, hadits Safinah itu ialah sebagaimana yang beliau kemukakan tadi. Imam Turmudzi ini membatasi makna itrah (keluarga keturunan) yang terdapat dalam kalimat hadits tersebut hanya kepada para pemuka atau imam-imam yang terdiri dari keturunan Rasulallah saw saja. Penafsiran Imam Turmudzi seperti itu, hanya berdasarkan pemikiran beliau sendiri dari segi dan istilah bahasa atau dari bidang ilmu atau ketaqwaan. Padahal kalau kita teliti dan baca, banyak wasiat Rasulallah saw  mengenai ahlulbait dan keturunannya umpama dalam hadits-hadits shohih yang telah di kemukakan tadi, disitu beliau saw menegaskan agar umatnya menghormati, memuliakan dan mendahulukan semua ahlul-bait dan keturunannya tidak memandang apakah diantara mereka ini seorang imam atau awam, ada yang baik atau ada yang buruk karena didalam hadits-hadits itu tidak adanya isyarat  hanya berlaku untuk para imam, para ahli taqwa dari ahlul-baitnya. 

Para imam yang menyanggah pendapat Imam Turmudzi merasa heran dan belum percaya kalau hal itu diucapkan oleh Imam Turmudzi sendiri, karena pendapatnya tidak sejalan dengan makna ayat Ilahi dan hadits Rasulallah saw yang berkaitan dengan ‘itrah ahlul-bait beliau saw. Maka dari itu Ash-Shabban sendiri berani mengatakan uraian Imam Al-Hakim At-Turmudzi yang ditulis dalam kitabnya itu mengandung salah satu dari dua kemungkinan:

Pertama; dan ini yang paling besar kemungkinannya tulisan tersebut di palsukan oleh orang yang dengki kepadanya (Turmudzi) dan kepada ahlul- bait Rasulallah saw. Hal seperti itu sering dialami oleh para ulama dan orang-orang keramat lainnya, seperti Syeikh Al-Akbar Sidi Muhyiddin bin Al- ‘Arabi, Syeikh ‘Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dan lain lain. 

Kedua; Imam Turmudzi pernah bergaul dekat dengan orang-orang ekstrim Syiah yang berlebih-lebihan dalam mengagung-agungkan sampai-sampai meng- kultuskan ahlulbait Rasulallah saw. Dengan uraiannya itu mungkin Imam Turmudzi hendak mengecam mereka, dan itu tampak jelas pada rumus kalimat yang di pergunakan olehnya! 

Lepas dari penafsiran diatas, jelas Allah swt dalam firman-firmanNya untuk ahlulbait Rasulallah saw (Al-Ahzab: 33 dan lain-lain) dan untuk para sahabat  beliau saw (Al-Fath:18, At-Taubah:100 dan lain-lain) tersebut menunjukkan kemuliaan dan penilaian tinggi yang diberikan oleh Allah swt kepada mereka. Namun sebagai manusia, para ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw adalah sama dengan para sahabat Nabi saw serta keturunannya, bisa berbuat kesalahan. Mereka ini bisa saja berbuat suatu kekeliruan atau terkena dosa, karena bukan orang-orang ma’shum yakni yang terpelihara dari kemungkinan berbuat kekeliruan. Orang-orang yang ma’shum menurut ahlus sunnah wal jama’ah hanyalah para Nabi dan Rasul, sebagai pembawa syari’at Ilahi dan hukum-hukum-Nya untuk disampaikan kepada umat manusia. Betapa pun tingginya martabat, keutamaan (fadha’il) dan ketakwaan mereka (keluarga keturunan Nabi saw dan para sahabat), sebagai manusia mereka tetap menghadapi ke mungkinan berbuat kekeliruan. Bisa saja terjadi suatu perbuatan yang dilakukan seseorang atau beberapa orang sahabat yang tidak menyenangkan ahlulbait Rasulallah saw dan sebaliknya. Hal itu bukan merupakan kejadian aneh, karena setiap manusia dapat saja berbuat kekeliruan dan kesalahan, apalagi mereka itu bukan orang-orang yang ma’shum (dihindarkan dari dosa). 

Kita kaum muslimin wajib melaksanakan wasiat Nabi saw yaitu mencintai dua golongan tersebut ahlulbait, keturunan Nabi saw khususnya dan para sahabat Nabi saw agar kita Insya Allah dapat memperoleh kebajikan didunia dan akhirat. Kita wajib memandang mereka semua dengan sikap yang adil, mengingat jasa-jasa yang telah mereka berikan kepada agama Islam dan kepada umat Islam. Pandangan kita terhadap mereka semua harus bertitik tolak pada keinginan memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kita harus menjauhkan dari hati dan pikiran kecenderungan nafsu berpihak kepada yang satu dan mengecam yang lain. Orang yang berpikiran sehat tidak akan membiarkan dirinya tercekam oleh pikiran dan perasaan yang tidak selaras dengan ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulallah saw.

Dalil-dalil atau hujjah-hujjah baik yang berupa ayat Al-Qur’an, hadits mau pun contoh yang telah diberikan oleh para sahabat Nabi saw dan para imam  –baik yang tercantum atau tidak tercantum dibuku ini kiranya itu cukup meyakin kan bagi setiap muslim yang mendambakan keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Setiap muslim, apa pun madzhab dan aliran yang dianutnya, tentu menyadari bahwa hakikat ajaran agama Islam ialah iman kepada Allah dan Rasul-Nya, taat  kepada kedua-duanya dan patuh melaksanakan semua perintahnya.

Berbicara tentang keridhoan Allah dan Rasul-Nya, yang pokok pertama adalah keridhoan Allah, sedang keridhoan Rasulallah saw adalah kesinambungan  dari keridhoan Allah swt. Tiap perbuatan yang diridhoi Allah pasti diridhoi oleh Rasul-Nya, tiap perbuatan yang dimurkai Allah pasti dimurkai pula oleh Rasul-Nya. Demikian juga sebaliknya, Allah ridho terhadap apa yang diridhoi oleh Rasul-Nya, dan murka terhadap apa yang dimurkai oleh Rasul-Nya. Jadi ke dua-duanya tidak dapat dipisahkan! Tidak mungkin seorang beriman taat melaksanakan perintah Allah tanpa melaksanakan perintah Rasul-Nya, dan tidak mungkin pula orang taat melaksanakan perintah Rasulallah saw tanpa mentaati perintah Allah swt. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’anul Karim antara lain: “Barangsiapa taat kepada Rasul berarti taat kepada Allah”. (An-Nisa :80). Dan firman-Nya: “..Dan Allah beserta Rasul-Nya itulah yang lebih berhak didambakan keridhoan-Nya”.(An-Nisa:136). Masih banyak lagi ayat Al-Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat diatas ini.

Sekali pun yang terpokok adalah iman kepada Allah swt, namun iman kepada Rasul-Nya sama sekali tidak boleh dipisahkan dari iman kepada Allah. Atas dasar ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulallah saw itu –menurut pengertian yang benar– kita harus menjaga kehormatan dan memelihara hak-hak semua ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagaimana yang beliau saw wasiatkan dalam hadits Tsaqalain dan lain-lainnya. Begitu juga kita harus menghormati  dan mencintai para sahabat beliau saw. Itu merupakan kewajiban umat Islam dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya! 

Insya Allah buat kita sudah jelas dengan adanya firman Allah swt, hadits-hadits serta wejangan para ulama pakar tadi, membuktikan bahwa keturunan Nabi saw itu masih tetap ada sampai akhir zaman. Riwayat-riwayat tersebut telah diperkuat oleh perawi-perawi yang bisa dipercaya. Dengan demikian cukup lah jelas bagi kita bahwa Itratur-Rasul (keturunan Rasulallah saw) akan senantiasa berada ditengah umat manusia sepanjang masa selama Allah swt menghendakinya hingga hari kiamat kelak. Juga dengan berdasarkan hadits-hadits tersebut diantaranya; –Kutinggalkan kepada kalian dua peninggalan, Kitabullah sebagai tali yang terbentang antara langit dan bumi, dan keturunanku ahlulbaitku. Sesungguhnya kedua-duanya itu tidak akan berpisah hingga kembali kepadaku di Haudh”– menunjukkan dan menerangkan dengan jelas adanya kaitan antara Kitabullah Al-Qur’anul-Karim dengan keturunan dan ahlu-bait beliau saw. Pertama, adalah kaitan kelestarian bersama antara yang satu dengan yang lain yakni antara Kitabullah dan ‘ithrah (keturunan, ahlu-bait) Rasulallah saw. Kedua, kaitan antara Kitabullah dan keturunan beliau saw yang kedua-duanya akan kembali (pertanggungjawabannya) kepada Rasulallah saw di akhirat kelak. Kaitan ini begitu erat sehingga beliau saw menyatakan  ‘tidak akan berpisah’  hingga saat kedua-duanya kembali kepada beliau di surga yakni hingga hari kiamat kelak.

Al-Qur’anul Karim akan kekal dan akan kekal pula hukumnya serta bukti kebenarannya diatas permukaan bumi sampai hari kiamat dan ahlul-Baitnya adalah patner Al-Qur’an yang senantiasa berdamping dengannya, kedua-duanya tidak akan terpisah sampai hari kiamat. Semua itu menunjukkan bahwa keturunan Rasulallah saw senantiasa akan dikenal dan dipercayai sampai hari kiamat, sebagaimana Al-Qur’an yang dipercayai, karena keduanya merupakan kesatu  an yang tidak dapat dipisahkan”. Dengan perkataan lain adalah: “Selama Al-Qur’an masih terdapat di muka bumi (tertulis maupun terhafal) selama itu pula ‘ithrah (keturunan) Rasulallah saw akan tetap ada di dunia, dan sebaliknya: Selama masih terdapat keturunan Rasulallah saw dimuka bumi ini, Kitabullah Al-Qur’an akan tetap ada didunia”! Akan sia-sialah golongan pengingkar atau penuduh yang mengatakan bahwa keturunan Nabi saw sudah punah/putus dan belum konkrit, omongan mereka ini sama sekali tidak didasari oleh dalil walaupun hanya satu dalil tidak lain hanya berdasarkan kedangkalan ilmu agama atau kedengkian, kehasutan terhadap keturunan yang mulia tersebut yang dikaruniakan oleh Allah swt. 

Sebagaimana yang telah kami kemukakan dibuku ini bahwa memandang ahlulbait dan keturunan Rasulallah saw sebagai keturunan yang mulia sama sekali tidak mengurangi makna atau arti firman Allah swt dalam surat Al-Hujurat:13, dan tidak pula mengurangi makna sabda Rasulallah saw yang mengatakan: “Tiada kelebihan bagi orang Arab atas orang bukan Arab (‘Ajam), dan tiada kelebihan bagi orang bukan Arab atas orang Arab kecuali karena takwa”. Firman Allah dan hadits Rasulallah saw yang terakhir diatas ini tidak bertentangan dengan surat Al-Ahzab : 33  yang menegaskan: “Sesungguhnya Allah hendak menghapuskan noda dan kotoran (ar-rijsa) dari kalian, ahlul-bait, dan mensucikan kalian sesuci-sucinya”.

Sekali lagi fadhilah dzatiyyah (keutamaan dzat) yang dikaruniakan Allah  kepada para keturunan Rasulallah saw sama sekali tidak lepas dari rasa tanggung jawab mereka yang lebih berat dan lebih besar daripada yang harus dipikul orang lain. Mereka ini harus selalu menyadari kedudukannya ditengah-tengah umat Islam. Mereka wajib menjaga diri dari ucapan-ucapan, perbuatan-perbuat an dan sikap yang dapat mencemarkan kemuliaan keturunan Rasulallah saw. Mereka wajib pula menyadari tanggung-jawabnya yang lebih besar atas citra Islam dan umatnya. Dengan demikian maka kewajiban menghormati mereka yang dibebankan oleh syari’at kepada kaum muslimin dapat di wujudkan dengan sebaik-baiknya. Tidak akan ada kesan bahwa para keturunan Rasulallah saw menonjol-nonjolkan diri menuntut penghormatan dari orang lain, karena kaum muslimin yang menghayati syari’at Islam pasti menempatkan mereka pada ke dudukan sebagaimana yang telah menjadi ketentuan syari’at. Kedudukan mereka perlu dipahami oleh kaum muslimin, terutama oleh orang-orang keturunan Ahlul Bait sendiri sebagai pihak yang paling berkewajiban menjaga martabat Rasul  saw dan Ahlul Bait beliau. 

Begitu juga suatu kesalahan atau kekeliruan tidak akan disorot oleh masyarakat setajam kesalahan atau kekeliruan yang diperbuat oleh orang-orang keturunan Ahlul-Bait. Apalagi pandangan masyarakat yang dengki atau tidak senang dengan Ahlul-Bait, mereka ini akan lebih memperuncing dan mempertajam kesalahan dan kekeliruan yang diperbuat oleh orang keturunan Ahlul-Bait. Keturunan ahlul-Bait adalah manusia biasa bukan manusia yang maksum, bisa saja berbuat dosa atau menjalani amalan yang fasiq, janganlah dengan adanya perbuatan salah/dosa itu langsung menjelekkan, mencela atau tidak mengakui nasabnya atau meniadakan wujudnya keturunan Rasulallah saw. Dengan demikian mereka ini baik sadar maupun tidak sadar telah membantah dan menentang riwayat-riwayat hadits Nabi saw yang berkaitan dengan keutama an serta masih wujudnya keturunan beliau saw dan sebagainya.

Al-’Allamah Ibnu Hajar dalam kitabnya Ash-Shawaiqul-Muhriqah menerangkan sebagai berikut: “Barangsiapa mengganggu salah seorang putera (Siti) Fathimah, ia akan menghadapi bahaya karena perbuatannya itu membuat marah (Siti) Fathimah ra. Sebaliknya, barang siapa mencintai putera-putera (termasuk keturunannya), ia akan memperoleh keridhoannya. Para ulama Khawash (para ulama yang mempunyai keistemewaan khusus) merasa didalam hatinya terdapat keistemewaan yang sempurna karena kecintaan mereka kepada Rasulallah saw, ahlul-bait serta keturunannya atas dasar pengerti an, bahwa ahlul-bait dan keturunan beliau saw adalah orang-orang yang dimulia kan oleh Allah swt. Selain itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak (keturunan) sepuluh orang sahabat Nabi saw yang telah dijanji- kan masuk surga, disamping itu mereka (para ulama khawash) juga mencintai anak-anak keturunan para sahabat Nabi yang lain. Mereka memandang semua keturunan sahabat Nabi sebagaimana mereka memandang para orang tua mereka. Selanjutnya Ibnu Hajar mengatakan: ‘Orang harus menahan diri jangan sampai mengecam mereka (ahlul-bait dan keturunan Rasulallah saw). Jika ada seorang diantara mereka yang berbuat fasik berupa bid’ah atau lainnya, yang harus dikecam hanyalah perbuatannya, bukan dzatnya, karena dzatnya itu merupakan bagian dari Rasulallah saw, sekali pun antara dzat beliau dan dzat orang itu terdapat perantara (wasa’ith)”.

Kami sayangkan masih ada orang muslimin yang ekstrem, yang sering mencaci maki sampai-sampai melaknat dan mengkafirkan sahabat-sahabat Rasulallah saw, padahal para imam –yakni para imam dari golongan ahlul-bait Rasulallah saw– tidak pernah mencaci maki umat muslimin, walaupun terhadap golongan muslimin yang pernah mencaci mereka. Para imam dari ahlul-bait Rasulallah saw (antara lain Imam Ali, Siti Fathimah, Al-Hasan dan Al-Husain, Imam Ali Zainal Abidin, Imam Muhamad Al-Baqir, Imam Ja’far As-Shodiq, ......[r.a.] ) selalu menjaga mata, mulut, telinga dan semua organ tubuhnya dari perbuatan-perbuatan keji yang bisa mengakibatkan murka Allah dan Rasul-Nya. Alangkah baiknya kalau orang-orang ekstrem ini meniru akhlak para imam tersebut yang sangat tinggi itu dan tidak meniru kepada golongan muslimin yang sering caci mencaci para sahabat Rasulallah saw. Akhlak yang baik inilah yang diajarkan dan diamalkan oleh junjungan kita Muhamad saw dan para ahlul-baitnya (ingat firman Allah swt. dalam surat An-Nahl:90).

Diantara golongan ekstrim ini -dari fanatiknya- ada yang tidak mau mendengar nama sebagian sahabat yang disebut, umpama khalifah Abubakar, khalifah Umar bin Khattab -radhiyallahu ‘anhuma- apalagi memberi nama anak-anak mereka yang sama dengan nama dua khalifah ini. Padahal kalau kita teliti dalam sejarah, diantara anak-anak Imam Ali kw ada yang diberi nama Abubakar dan Umar. Begitu juga seorang ulama yang bermadzhab Syi’ah ,Syeikh Syarafuddin al-Musawi, dalam kitab Dialog Sunnah-Syi’ah (Al-Muroja’at) cet.1 th.1983 hal.119 dan hal.122 terjemahan Indonesia, telah menyebutkan seratus nama dari kalangan madzhab Syi’ah antara lain nama ke 83 yang disebutkan dibuku tersebut ialah Mu’awiyah bin ‘Ammar ad-Dubni al-Bujali dan nama ke 99 ialah Yazid bin Abi Ziyad (Abu Abdillah) al-Kufi. Nama Muawiyah dan Yazid itu masih dipegang oleh dua ulama syiah diatas tersebut dan tidak digantinya. Marilah kita tidak saling melaknat atau mengkafirkan sesama muslimin, walaupun antara satu sama lain mempunyai madzhab berlainan.  

Perbedaan pendapat antara golongan muslimin selalu ada, kita tidak perlu mensyirikkan, mensesatkan  satu sama lain antara kaum muslimin karena adanya perbedaan dan sudut pandang diantara kita. Karena masing-masing pihak berpedoman pada Kitabullah dan sunnah Rasulallah saw namun berbeda dalam hal penafsiran dan penguraiannya. Setelah menguraikan atau menafsirkan ayat-ayat Allah swt dan hadits Nabi saw, janganlah mensesatkan atau berani mengkafirkan kaum muslimin dalam suatu perbuatan atau amalan karena tidak sepaham dengannya. Orang seperti ini sangatlah egois dan fanatik serta ekstrem dalam sudut pandangnya sendiri, yang menganggap dirinya paling benar dan paham sekali akan dalil-dalil syar’i/agama.

Pokok perbedaan pendapat soal-soal sunnah, nafilah, mubah yang dibolehkan ini hendaknya dimusyawarahkan oleh para ulama kedua belah pihak, jadi bukan dengan cara tuduh menuduh, kafir  mengkafirkan, cela mencela antara sesama kaum muslimin. Begitu juga janganlah kita mudah menvonnis amalan-amalan nawafil/sunnah atau mubah sebagai amalan bid’ah munkar/haram, sesat, syirik dan lain sebagainya karena tidak sepaham dengan madzhabnya atau dengan alasan bahwa amalan tersebut tidak ada contoh sebelumnya baik dari Rasul maupun sahabat beliau saw dan sebagainya.Untuk mengharamkan suatu amalan harus mengemukakan nash-nash baik yang umum maupun yang khusus mengenai amalan tersebut, jadi tidak bisa seenak pikirannya sendiri. Wallahu A’lam